Warga Desa Adat Asak menggeler 'Nyepeg Sampi." (BP/nan)

AMLAPURA, BALIPOST.com – Desa Adat Asak yang terletak di Kecamatan/Kabupaten Karangasem rutin setiap satu tahun sekali menggelar tradisi nyepeg sampi atau menebas sapi yang dilaksanakan setiap Sasih Kaulu atau antara Januari atau Februari. Untuk tahun ini dilaksanakan pada Rabu (25/1).

Bendesa Adat Asak, I Wayan Segara mengatakan, tradisi tersebut merupakan rangkaian dari Usaha Kawulu. Jadi saat puncak acara pada pagi harinya dilaksanakan sebuah tradisi yang disebut penyepegan atau nyepeg sampi yang dilakukan oleh seluruh teruna atau pemuda yang ada di desa. “Sebelum disepeg atau ditebas, sapi terlebih dahulu diupacarai di Pura Patokan. Setelah itu akan dibawa keliling desa sebanyak satu putaran,” ujarnya.

Baca juga:  Mulai Digarap, Proyek Balai Budaya Badung

Wayan Segara mengatakan saat dibawa keliling desa sapi tersebut juga diiringi tabuh baleganjur dan juga seluruh krama atau warga Desa Adat Asak termasuk para pemuda. Setelah kembali tiba di Pura Patokan maka sapi akan diberi pamendak atau upacara penyambutan setelah itu sapi akan dilepas.

Saat sapi dilepas, maka seluruh pemuda yang sudah membawa senjata seperti pisau, golok dan yang lainnya akan langsung menebas sapi tersebut. “Senjata yang digunakan juga tidak sembarangan. Senjatanya khusus hanya dikeluarkan saat tradisi tersebut karena senjata tersebut sebelumnya sudah diupacarai di masing-masing rumah warga. Para pemuda yang ikut menebas sapi tidak boleh memakai baju dan udeng, saput serta selendang yang digunakan juga harus sesuai aturan dan sama karena ini merupakan tradisi yang sakral dan saput tersebut harus bikin khusus karena tidak diperjualbelikan,” kata Segara.

Baca juga:  Karena Ini, Puluhan WBP di Lapas Karangasem Tak Bisa Memilih

Menurut Wayan Segara, ketika melakukan penebasan juga ada aturannya, para pemuda tidak boleh menebas bagian kepala serta ekor selain itu boleh ditebas. Jika itu dilanggar maka para pemuda akan diberikan sanksi berupa denda uang yang mencapai Rp300 ribu. Setelah sapi tersebut mati, maka akan kembali dibawa ke Pura Patokan untuk digunakan sebagai caru. Sedangkan dagingnya nantinya akan dibagi ke seluruh masyarakat Desa Adat Asak.

Baca juga:  Tunggu Gedung Budaya Rampung, Pemkab Badung Belum Tunjuk Pengelola

“Makna dari tradisi tersebut adalah sebagai penetralisir alam untuk memohon kesuburan dan juga keselamatan bagi seluruh masyarakat yang ada di Desa Adat Asak. Sehingga nantinya seluruh masyarakat akan diberikan kesehatan serta tanah yang digunakan untuk bertani menjadi subur,” jelasnya. (Eka Parananda/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *