Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Menteri Pariwisata era Orde Baru, Joop Ave, wafat pada usia 79 tahun di Singapura pada Rabu (5/2) sore 9 tahun yang lalu (5 Februari 2014). Sabtu (8/2), jenazah Joop Ave dikremasi di Nusa Dua, Bali, daerah yang diperjuangkan selama hidupnya. Kiprah Joop Ave masih dikenal oleh ‘orang-orang lama’, tetapi generasi sekarang bisa mengenal Joop Ave lewat karya-karyanya.

Pencanangan Visit Indonesia Year, salah satunya, adalah rintisan yang pernah dilakukan tahun 1991 dan menginspirasi program serupa tahun 2008. Destinasi MICE (meeting, incentive, conference, exhibition) internasional andalan Indonesia, Bali Tourism Development Center di Nusa Dua, juga tak lepas dari sumbangsih menteri yang dikenal menguasai beberapa bahasa asing itu.

Bali memang mendapat perhatian khusus dari Joop Ave, terutama memperkuat Bali sebagai destinasi MICE. Pada masa kepemimpinannya, Indonesia seakan kembali mendeklarasikan diri sebagai destinasi MICE internasional. Sebelumnya, MICE telah dirintis pada masa Bung Karno, tetapi kemudian terasa jalan di tempat. Kecerdasan Bung Karno tidak semata-mata jago lobi dan berbahasa asing, tetapi tepat melakukan positioning dan membangun sinergi (networking) dengan bangsa-bangsa di dunia.

Sayangnya pada masa-masa awal Orde Baru, rintisan jaringan internasional untuk penyelenggaraan MICE terasa kurang optimal. Pada masa Bung Karno, Indonesia sebagai negara baru mutlak membutuhkan pergaulan global guna mendapat pengakuan yang sejajar di antara bangsa-bangsa. Pilihan Bung Karno melakukan ‘kinerja kebudayaan’ untuk merangkul bangsa-bangsa dapat dilihat melalui even-even internasional yang dihelat di Indonesia.

Baca juga:  Pendidikan Bukan Sekadar Kelulusan dan Ijazah

Sebut misalnya Ganefo, KTT Asia Afrika dan KTT Non Blok yang melegenda dan tertancap kuat dalam sejarah negara-negara kecil yang kontra dengan kekuatan blok barat, merupakan ‘warisan monumental’ presiden pertama negeri ini.

Wikipedia mencatat, Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika (KAA) adalah sebuah konferensi antara negara-negara Asia dan Afrika, yang kebanyakan baru saja memperoleh kemerdekaan. KAA diselenggarakan oleh Indonesia, Myanmar (dulu Burma), Sri Lanka (dulu Ceylon), India dan Pakistan dan dikoordinasi oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Sunario. Pertemuan ini berlangsung antara 18 April-24 April 1955, di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia dengan tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika dan melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya.

Sebanyak 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia pada saat itu mengirimkan wakilnya. Konferensi ini merefleksikan apa yang mereka pandang sebagai ketidakinginan kekuatan-kekuatan Barat untuk mengkonsultasikan dengan mereka tentang keputusan-keputusan yang memengaruhi Asia pada masa Perang Dingin; kekhawatiran mereka mengenai ketegangan antara Republik Rakyat Cina dan Amerika Serikat; keinginan mereka untuk membentangkan fondasi bagi hubungan yang damai antara Tiongkok dengan mereka dan pihak Barat; penentangan mereka terhadap kolonialisme, khususnya pengaruh Perancis di Afrika Utara dan kekuasaan kolonial perancis di Aljazair; dan keinginan Indonesia untuk mempromosikan hak mereka dalam pertentangan dengan Belanda mengenai Irian Barat.

Baca juga:  Strategi Mitigasi dan Sigap Bencana

Sepuluh poin hasil pertemuan ini kemudian tertuang dalam apa yang disebut Dasasila Bandung, yang berisi tentang “pernyataan mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia”. Dasasila Bandung ini memasukkan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB dan prinsip-prinsip Nehru. Sejarah mencatat, konferensi ini akhirnya membawa kepada terbentuknya Gerakan Non-Blok pada 1961.

Nusa Dua

Meski bukan yang paling berjasa, namun dapat disebut Joop Ave berkontribusi besar dalam perencanaan dan pengembangan destinasi MICE andalan Indonesia, Nusa Dua. Pertumbuhan kawasan wisata modern Nusa Dua bisa dikatakan mengikuti gerak perkembangan kepariwisataan Bali yang awalnya berbasiskan pada wisata alam (nature) dan budaya (culture). Kemasan wisata modern itu sendiri tidak dapat melepaskan diri dari daya tarik utama alam dan budaya Bali.

Baca juga:  Fenomena "Ulah Pati"

Perlahan namun pasti, Nusa Dua menjadi mercusuar positioning Indonesia dalam peta turisme global sebagai destinasi MICE. Untuk menggaet even MICE skala dunia agar dilakukan di Indonesia tidaklah mudah. Namun, sekali even MICE spektakuler dihelat, dampak berganda secara langsung dan tak langsung sangat signifikan. Secara tidak langsung, jelaslah tuan rumah penyelenggara MICE akan meningkat pamornya. Secara langsung, banyak bisnis yang terimbas perputaran ekonomi dari industri ini.

Dalam perkembangannya dewasa ini, Nusa Dua menjadi andalan Indonesia dalam membangun reputasi dan daya pikatnya bagi kepentingan wisata bisnis, di mana MICE menjadi urat nadi yang berkontribusi besar bagi perekonomian negara. Karena itu yang kian penting seiring pesatnya even internasional di Nusa Dua adalah keterangkaian even MICE dengan perekonomian masyarakat. Dalam hal ini, keleluasaan masyarakat untuk bisa mengais dampak ekonomi dari even MICE perlu semakin di-desain dan dikembangkan dari masa ke masa. Di sini kita melihat jasa besar Joop Ave. Selamat jalan Pak Joop.

Penulis, Dosen Hospitality and Tourism Management, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *