Suasana workshop Penyusunan Visionary Masterplan Pulau Bali di Kantor Bappeda Litbang Provinsi Bali, Kamis (21/12). (BP/rin)
DENPASAR, BALIPOST.com – Bali telah lama menggantungkan perekonomian pada sektor pariwisata. Kendati, pariwisata juga membawa dampak negatif bagi pulau Dewata. Terutama pariwisata yang dikembangkan secara massal atau mass tourism.

Pengembangan pariwisata massal dapat dipastikan berdampak negatif terhadap lingkungan alam dan sosial. “Kerusakan ekologi atau lingkungan alam sebagai akibat pembangunan fasilitas pariwisata yang tidak terkendali dan aktivitas wisatawan yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan,” ujar Ketua Umum Paiketan Krama Bali, Agung Suryawan Wiranatha dalam Workshop Penyusunan Visionary Masterplan Pulau Bali di Kantor Bappeda Litbang Provinsi Bali, Kamis (21/12).

Agung Suryawan telah mengidentifikasi 20 isu-isu penting terkait lingkungan dan sosial budaya. Di bidang lingkungan misalnya, Bali antaralain menghadapi masalah limbah dan sampah, eksploitasi air tanah, perubahan tata guna lahan, keterbatasan energi hingga kerusakan pantai. Kemudian di bidang sosial budaya, muncul persoalan kemacetan lalu lintas, penurunan kualitas daya tarik wisata, adanya migrasi dan urbanisasi, perubahan nilai-nilai tradisional, serta redefinisi Bali terkait identitas.

Baca juga:  Peringatan 20 Tahun Bom Bali I Diisi Pelepasan Penyu dan Burung, Ini 3 Filosofinya

Belum lagi kepemilikan aset pariwisata di Bali, hanya sedikit yang dikuasai oleh orang Bali lantaran masyarakat lokal lebih banyak menjadi pekerja.Kemudian permasalahan narkoba dan kafe remang-remang. “Kerusakan lingkungan secara fisik rasanya lebih mudah untuk ditangani, tapi degradasi budaya lokal dan penyakit sosial masyarakat terutama peredaran narkoba dan seks bebas ini sangat sulit ditangani,” terangnya.

Agung Suryawan menambahkan, pengembangan pariwisata harus direncanakan dengan baik agar harmonis dengan lingkungan alam dan sosial budaya. Begitu juga memperhatikan kemampuan daya dukung lingkungan untuk pariwisata berkelanjutan.

Pemerintah perlu memberikan peluang bagi masyarakat menjadi pengusaha di bidang pariwisata meski investasinya kecil, seperti membuat homestay atau pengembangan desa wisata sesuai potensi lokal. Paling penting, keotentikan Bali mesti tetap dijaga agar wisatawan selalu datang.

Dengan demikian, dampak positif dari pariwisata dapat dioptimalkan untuk kesejahteraan masyarakat. Sedangkan dampak negatifnya bisa diminimalkan. Salah satu konsep pengelolaan pariwisata yang mengakomodasi pertumbuhan ekonomi namun tetap membatasinya berdasarkan berbagai kendala seperti kualitas lingkungan alam, kondisi sosial dan budaya adalah konsep pertumbuhan hijau atau green growth.

Baca juga:  Amankan KTT G20 di Bali, Indonesia Terima Bantuan Robot dari China

“Kalau kita ingin tetap bertumbuh ekonominya, maka salah satu yang harus kita ikuti adalah konsep pertumbuhan hijau. Dia bertumbuh tapi masih dalam batas-batas yang sesuai dengan konsep pariwisata berkelanjutan,” jelasnya.

Agung Suryawan memaparkan ada tujuh pilar utama terkait green growth road map. Pertama, menumbuhkan ketahanan terhadap iklim (adaptasi) dan mengelola transisi rendah karbon (mitigasi). Kedua, mengelola sumber daya alam dan sampah serta konservasi keanekaragaman hayati. Ketiga, mengembangkan produk dan mengelola destinasi. Keempat, melakukan pencitraan, pemasaran, dan distribusi elektronik. Kelima, meningkatkan kapasitas dan pekerjaan yang layak. Keenam, membangun infrastruktur, diseminasi teknologi, dan komunikasi. Ketujuh, mekanisme pelaksanan termasuk reformasi kebijakan, kemitraan, pembiayaan, dan inovasi.

“Ada tiga yang ingin kita capai dengan paradigma pertumbuhan hijau di bidang pariwisata, yakni destinasi yang berkelanjutan, mobilitas wisatawan yang berkelanjutan, dan gaya hidup atau lifestyle yang berkelanjutan,” terangnya.

Baca juga:  Masyarakat Kembali Diingatkan Tak Usah Liburan ke LN

Sementara itu, Arsitek sekaligus Praktisi Tata Ruang, Nyoman Popo Priyatna Danes mengatakan, alangkah bagusnya jika Bali memiliki visionary masterplan yang baik dan diketahui semua pihak serta memang menguntungkan pulau ini sesuai kapasitas masyarakat setempat. Dengan demikian tidak akan ada perdebatan di tengah masyarakat menyangkut masterplan.

Seperti misalnya rencana reklamasi Teluk Benoa yang tiba-tiba muncul di luar masterplan sebagai privat sector dan harus disetujui. Kemudian masalah lain terkait munculnya dome (kubah) raksasa di Nusa Dua yang tidak jelas darimana datangnya rencana itu. Lalu padatnya koloni Western-Australia di Nusa Lembongan padahal dari segi infrastruktur belum memadai untuk menjadi sebuah destinasi, atau pembangunan Dermaga Gunaksa yang berkasus. “Hal-hal seperti ini jangan sampai kita temui lagi ke depan,” imbuhnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *