Oleh Kadek Suartaya
Langkah pelan Presiden Jokowi ketika memasuki pintu utama Pasar Seni Sukawati disambut tari Legong Keraton. Sore itu, Rabu, 1 Februari 2023, RI I meresmikan pasar penjualan aneka kerajinan seni yang sering disinggahi para pelancong tersebut.
Di bawah mendung tipis yang menggayut dan gerimis hujan merinai, tatapan ramah Jokowi disongsong senyum puluhan deretan penari menggerakkan kepala nyegut dipadu dengan seledet secara bergantian. Selain dimeriahkan dengan gemeretak tari Barong, kecipak Kecak dan derap tari Baris yang ditampilkan di seputaran pasar, kiranya aksentuasi Legong Keraton di posisi yang strategis itu adalah untuk menunjukkan bahwa masterpiece tari Bali yang tak asing dalam terminologi kesenian dunia ini adalah Sukawati.
Tak berlebihan bila masyarakat Sukawati mendaku Legong Keraton. Torehan yang dituturkan catatan kuno seperti babad, dengan fasih mengkorelasikan Sukawati dengan tari Legong Keraton. Demikian pula bukti-bukti tertulis dari buah penjelajahan para peneliti terdahulu, memaparkan secara gamblang betapa masyurnya Sukawati dengan kemilau tari Legong Keraton-nya. Babad Timbul—nama tua Sukawati—mengisahkan, betapa pada pertengahan abad ke-18, pesona tari tersebut mengundang orang-orang luar untuk datang mengaguminya. Orang-orang luar desa yang suka cita hadir, memunculkan kelatahan kolektif, menyebut desa yang senantiasa ceria dengan tari Legong Keraton itu, sebagai suka ati yang lama-lama mengkristal menjadi suka wati (kini Sukawati).
Fakta yang tidak terbantahkan bahwa Sukawati sebagai pusat Legong Keraton masih segar diingat oleh para tetua desa. Awal abad XX, setidaknya sebelum kemerdekaan RI, Sukawati masyur sebagai pusat Legong Keraton. Tersebutlah tiga orang seniman yaitu Anak Agung Rai Perit, I Made Duaja dan I Dewa Blacing dikenal sebagai penari dan penabuh yang banyak didatangi oleh penari dan penabuh dari penjuru Bali untuk menempa diri berkesenian Legong Kraton. Tahun 1940-an, I Lotring dari Kuta nyantrik pada ketiga tokoh Legong Keraton itu, madunungan (numpang tinggal) di rumah Dalang Sukawati, I Granyam. Seangkatan dengan Lotring, I Lebah dari Peliatan, Ubud, juga lama berguru pada Rai Perit dengan berjalan kaki Peliatan-Sukawati sejauh 10 kilometer. Sementara itu I Gusti Jelantik—dikenal sebagai perintis Legong Keraton gaya Saba—perlu menyeberangi sungai Petanu untuk belajar pada trio seniman seni pertunjukan Sukawati itu.
Dari Sukawati, Legong Keraton menyebar ke penjuru Bali. Pada tahun 1930-an seorang pelukis asal Belgia, Le Mayeur, sering menjadikan tarian Legong Keraton sebagai objek karya-karyanya. Bahkan, seorang penari Legong Keraton, Ni Nyoman Pollok, dari Kelandis, Badung (kini Denpasar) yang dijadikan model lukisan oleh Mayeur, bergelinjang mekar romantis berwujud sekuntum cinta asmara dalam pelaminan sepasang suami istri. Sementara itu, kemilau Legong Keraton juga berbinar hingga ke Bali Utara. Euforia Gong Kebyar sejak 1915 yang menstimulasi munculnya tari-tarian kebyar di Buleleng, diwarnai oleh elemen estetis Legong Keraton. Simaklah tari Kebyar Legong, genre tari kebyar yang menguak pada 1920-an, disisipkan sepenggal estetika Legong Keraton oleh penciptanya, I Wayan Paraupan alias Pan Wandres.
Namun, ketika Gong Kebyar serta tarian kebyar-nya kian bergemuruh perkembangannya ke seluruh Bali pascazaman penjajahan, Legong Keraton justru redup. Di Sukawati sendiri, sekitar tahun 1950-an, Legong Keraton masih berusaha menggeliat. Salah satunya, Legong Keraton Banjar Babakan—tempat Lotring berguru—masih memiliki penari andal. Namun setelah itu, lebih-lebih setelah peristiwa G30S tahun 1965, Legong Keraton amblas tak berbekas bak ditelan bumi. Tahun 1974, I Made Sanggra, seorang sastrawan Bali modern kelahiran Sukawati berungkap lirih mengatakan “Legong Keraton berakar, berbatang, berdaun di Sukawati tetapi bunga dan buahnya kini jatuh di Ubud”.
Sebelum di kenal dengan nama Legong Keraton, masyarakat Bali tempo doeloe mengenal tarian ini dengan sebutan legong (saja) yang bermakna leg dipadankan sebagai lentur dan gong adalah gamelan. Jadi, legong berarti pertunjukan seni yang sarat dengan keluwesan gerak tari dan diiringi dengan tatabuhan ansambel gamelan. Sejatinya, kerinduan pada kegemilangan legong telah menggugah dan menggerakkan para seniman Bali masa kini. Tari legong yang hanya dikenang lamat-lamat, mulai direkonstruksi secara takzim. Ratusan palegongan—kreasi tari yang bertitik tolak dari pakem legong–telah diciptakan oleh para kreator tari. Syukur, semangat dan dedikasi pewarisan legong, belakangan, juga mengemuka di Sukawati.
Seorang anak muda, Pradnya Larasari, tergerak mendirikan sanggar tari pada 2019 dengan program pelatihan pengutamaan tari legong. Sebagai pelatih, Laras–penari lulusan S-1 dan S-2 ISI Denpasar ini–selain mengajarkan tari kebyar seperti Kebyar Legong, Tarunajaya, Wiranjaya, Palawakya, Oleg Tambulilingan, Jaran Teji, Cendrawasih dan lain-lainnya, pelatihan legong ditransmisikannya berbara idealis. Kini, anak didiknya—tak kurang dari 100 orang–telah dan sedang meyuntuki tari legong klasik seperti Lasem, Kuntul, Raja Cina, Bapang Durga dan juga tari palegongan Tri Sakti dan Abimanyu Gugur. Laras, koreografer yang telah melanglang buana ini, melalui Sanggar Siwanataraja yang dikelolanya, kini sedang dalam proses dan progres menciptakan kreasi legong bertajuk Siwanataraja. Upaya swabudaya Laras ini tentu berkontribusi memperkokoh pengakuan Unesco, PBB (pada 2015) terhadap legong sebagai Warisan Budaya Dunia. Mudahan-mudahan, jika Pak Jokowi kembali berkunjung ke Sukawati, tidak hanya dapat menyimak selintas seledet-nya saja namun keseluruhan keindahan, keagungan dan kecemerlangan tari Si Cantik Legong.
Penulis, pemerhati seni dan staf pengajar ISI Denpasar