Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Pada sebuah kesempatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Indonesia harus mencontoh negara-negara maju dalam pengelolaan aset negara. Di negara maju orangnya bisa santai leha-leha menikmati return tinggi, sementara uang dan asetnya bekerja keras dipakai untuk berinvestasi.

Sri Mulyani menyatakan kalau di Indonesia dan negara berkembang mindsetnya beda. Orangnya kerja keras tapi asetnya tidur, ditaruh di bawah bantal. Dinyatakannya bahwa aset negara harus bekerja keras, tidak hanya dicatatkan di neraca lalu tidur. Selain berguna untuk negara, aset tersebut juga harus mampu mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.

Kita harus mengubah cara pandang terhadap aset negara. Dari sekadar public goods menjadi measurable asset. Isu soal aset negara memang kurang populer dibandingkan masalah pajak dan utang. Padahal, cara suatu negara mengelola aset menggambarkan sikap dan karakter dari bangsa tersebut.

Baca juga:  Penguatan Rupiah

Sistem manajemen aset negara, -baik aset fisik/tangible maupun non-fisik/intangible yang jumlahnya ribuan triliun-, dapat mengacu pada pola pengelolaan properti layaknya swasta. Pihak swasta mengelola aset mereka yang sebagian diperoleh dari pinjaman bank. Seluruh aset negara harus efisien, efektif, dan memiliki kinerja ekonomis bagi masyarakat,

Bagi Bali, kearifan lokal (local genius) krama Bali merupakan aset intangible heritage yang dapat menjadi culture capital (modal sosial-budaya) besar dalam kapitalisasi aset-budaya Bali. Sikap komunal penuh kemitraan yang dimiliki krama Bali dalam aura semangat manyamabraya, mencerminkan modal sosial-budaya tersebut.

Sementara berbagai jejak budaya berupa pura, puri, dan karya budaya krama Bali merupakan aset tangible heritage yang tak ternilai. Bali memiliki kekayaan aset cultural heritage yang elok dan memesona. Terhadap aset-aset yang dimiliki Bali ini, jika dilakukan kapitalisasi secara benar tentu dapat mendatangkan kesejahteraan bagi krama Bali.

Baca juga:  Siapkan Mentalitas Indonesia Tuan Rumah Olimpiade

Namun harus diakui, bahwa maraknya industri pariwisata Bali sedikit banyak telah memberi dampak negatif terhadap alam dan budaya Bali yang tidak kita inginkan. Eksplorasi yang berlebihan atas budaya dan alam Bali demi wisatawan, telah berubah menjadi eksploitasi atas budaya dan alam sehingga berakibat gangguan keseimbangan alam dan kehidupan.

Dengan 44 Tonggak Peradaban sebagai Penanda Bali Era Baru, pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Bali, Wayan Koster – Cok Ace mencoba melakukan kapitalisasi aset-budaya Bali secara sistematis, masif, menyeluruh, permanen dan berkelanjutan. Yaitu melalui 47 regulasi berupa Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur, serta Surat Edaran Gubernur Bali.

Memang diperlukan langkah komprehensif yang bersifat fundamental dalam merawat aset-budaya Bali. Marwah peradaban Bali harus didudukkan pada tempatnya agar generasi di masa yang akan datang tetap memahami jati diri ke-Bali-annya. Nilai aset-budaya krama Bali harus terus digaungkan bersamaan dengan tata kelolanya.

Baca juga:  Program Berdayakan Desa Adat Dipayungi Regulasi Bentengi Bali dari Pengaruh Modernisasi

Esensi tatanan perekonomian Bali pada dasarnya adalah Ekonomi Kebudayaan. Harus ada landasan budaya dalam setiap gerak perekonomian Bali. Ekonomi Bali harus dibangun sesuai struktur sosial-budaya krama Bali. Teori ekonomi Barat tidak boleh begitu saja menjadi landasan pembangunan ekonomi Bali.

Pada dasarnya setiap pembangunan ekonomi masyarakat akan berdampak pada struktur ekonomi masyarakatnya. Sehingga penataan ekonomi Bali, tidak dapat dilakukan dengan mengabaikan perilaku budaya krama Bali. Hal ini sekaligus sebagai upaya menjaga kemandirian ekonomi Bali di masa depan.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *