Seorang petani mengolah lahannya di Peguyangan, Denpasar. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Naiknya harga produk pertanian memicu laju inflasi. Pemerintah langsung melakukan intervensi menekan harga produk pertanian. Dampaknya, petani yang harusnya bisa menikmati keuntungan dari kenaikan harga produknya justru mengalami kerugian.

Petani rugi, sedangkan kenaikan harga barang kebutuhan sehari-hari makin sulit dipenuhi. Petani makin terjepit di tengah inflasi.

Akademisi dan Guru Besar Emiritus Fakultas Pertanian Unud Prof I Wayan Windia mengatakan nasib menjadi petani memang selalu menjadi keraknya kemiskinan. “Menjadi petani, sudah hitam, dekil, miskin lagi,” katanya saat ditemui Tim Bali Post Talk di Denpasar beberapa waktu lalu.

Baca juga:  Inflasi Bali Melandai, Tapi di Atas Nasional

Kenaikan harga produk pertanian, adalah kesempatan bagi petani untuk mendapatkan keuntungan lebih. “Sayangnya pemerintah, langsung melakukan intervensi dengan berbagai strategi agar harga produk pertanian kembali turun,” ujarnya.

Prof. Windia menyebutkan kebijakan intervensi saat inflasi wujud dari keberpihakan kepada masyarakat sebagai konsumen. Sedangkan petani sebagai produsen selalu saja dikorbankan. Petani seolah-olah dibiarkan menghadapi berbagai persoalan yang membelit mereka seperti harga sarana produksi yang terus naik dan infrastruktur pendukung pertanian tidak mendapat perhatian semestinya. “Selama pemerintah lebih mementingkan konsumen daripada petani sebagai produsen, maka nasib petani tidak akan pernah menguntungkan,” katanya.

Baca juga:  Tekan Inflasi, Siswa di Denpasar Ramai-ramai Tanam Cabai

Salah satu indikator petani terutama di Bali mengalami nasib memprihatinkan adalah rendahnya Indeks Nilai Tukar Petani (NTP). “Sejak beberapa tahun berlalu, NTP petani di Bali selalu di bawah 100. Ini berarti, petani tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil panen,” uajar Prof. Windia.

Ironisnya, ketika terjadi inflasi yang berarti harga-harga barang kebutuhan sehari-hari naik, penghasilan petani yang NTP nya di bawah 100, membuat petani makin terjepit. Petani kini sudah tidak lagi memiliki cadangan beras hasil pertanian mereka, karena padi yang sudah siap panen sudah dikuasai tengkulak. Artinya petani harus membeli beras untuk kebutuhan sehari-hari yang harganya sudah naik. (Nyoman Winata/balipost)

Baca juga:  Pecah Rekor 9 Kali Selama 19 Hari, Zona Merah COVID-19 di Bali Bertambah

 

 

BAGIKAN