Marjono. (BP/Istimewa)

Oleh Marjono

Spiritualitas (spirituality) merupakan kata sifat. Spirituality adalah (“that which has a spiritual character”); (“the quality or condition of being spiritual”). Spiritualitas adalah sesuatu yang memiliki sifat spiritual.

Spiritualitas merupakan suatu keadaan atau sifat dari ideologi, pengetahuan atau kepercayaan tersebut. Mengutip pernyataan Nyi Mangoensarkoro pada Tahun 1946, “Kami jakin kekoeatan dan keloehoeran bangsa, negara, bahkan keloehoeran doenia itoe pada pertama kalinja tergantoeng kepada keloehoeran djiwa wanita sebagai iboe, sebagai pendidik bangsa, negara dan doenia”, menegaskan bahwa perempuan menjadi bagian dari spiritual bangsa.

Spiritualitas Bangsa Indonesia masih termasuk tinggi/sangat tinggi. Buktinya? Sila utama dari negara kita adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini menunjukkan bahwa spiritualitas masih ada dalam ideologi negara kita, karena Tuhan merupakan fenomena spiritual. Sejenak kita toleh sejarah perempuan dari waktu ke waktu. Perempuan pada masa awal, masih memiliki pendidikan rendah, akses pada aspek vital rendah (kesehatan, Pendidikan, poilitik). Perempuan setelah adanya Kongres I/II Perempuan, sudah mulai memperkuat pendidikan kepanduan putri, diantaranya men-cegah perkawinan anak, menerbitkan surat kabar, di sini muncul istilah “ibu bangsa” (KW II). Perempuan setelah adanya Pengarus-utamaan Gender PUG (afirmasi), Perempuan mulai menduduki jabatan-jabatan strategis (Legislatif, Eksekutif & Yudikatif). Perempuan saat ini, sudah setara, bisa secara bersama-sama membangun bangsa sesuai dengan peran yang diambil dan melestarikan keberagaman dalam kebangsaan.

Baca juga:  “Pegat Wakan: Pegat Matuwakan”

Maka kemudian, pendidikan menjadi wadah membangun spiritual bangsa. Disitu, perempuan mempunyai peran penting, di antaranya pertama, Ibu disebut sebagai institusi sekolah utama dan pertama bagi seorang anak, disini keluarga dan perempuan menjadi wadah terkecil dalam membangun karakter. Perempuan adalah tiang negara, perempuan menjadi tolak ukur kemajuan sebuah bangsa.

Pembudayaan

Kedua, perempuan berperan menjadi pendidik sekolah formal/informal. Sejak awal terbentuknya negara, peran perempuan dalam masyarakat telah ada seperti adanya Perguruan Taman Siswa (1922). Pada saat itu semangat kebangsaan menjadi landasan berdirinya Perguruan Taman Siswa. Terdapat majalah (Wasita dan Poesara) dimana Ki Hajar Dewantara aktif menulis dan menyebarkan gagasan mengenai peran perempuan dalam kebangsaan. Perguruan Taman Siswa menjadi perguruan yang mendidik laki-laki dan perempuan hingga mempunyai kesadaran untuk melakukan perjuangan untuk mendapatkan haknya dan berpartisipasi dalam pergerakan.

Ketiga, pendidikan melalui gerakan dan organisasi, juga mampu memberikan pen-didikan melalui gerakan/organisasi perempuan. Di sini bisa dijelaskan, pendidikan berperan bukan hanya sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetap lebih luas lagi sebagai pembudayaan (enkulturisasi), yang tentu saja hal terpenting dan pembudayaan itu adalah pembentukan karakter dan watak (nation and character building), yang pada gilirannya sangat krusial bagi nation building atau  menuju rekonstruksi negara dan bangsa yang lebih maju dan beradab.

Refleksi peran perempuan dalam kebangsaan di ranah gerakan adalah, sejak awal perempuan telah ikut mencetuskan ide-ide kebangsaan melalui Kongres Wanita I dan II. Dalam kongres tersebut disampaikan bahwa isu yang diangkat adalah isu perkawinan anak dan pendidikan dan kemerdekaan Indonesia. Kemudian di Kongres II, isu yang dibahas terkait isu HAM dan pendidikan kebangsaan. Di masa orde baru dan reformasi, isu-isu yang berkembang terkait dengan perempuan kemudian mengerucut dan dikecilkan pada isu-isu akses perempuan di bidang ekonomi, kesehatan, serta politik identitas berbasis agama yang mengakibatkan tumbuh suburnya isu intoleransi dan radikalisme.

Baca juga:  Jurus Jitu Penerapan Travel Bubble Menuju Kebangkitan Pariwisata Bali

“Soft Skill”

Menyikapi arti penting pendidik dalam menjaga nilai kebangsaan. Yang perlu menjadi perhatian pula bahwa, di lingkungan pendidikan ini pula bibit intoleransi dan radikalisme tumbuh. Penelitian yang dilakukan Ma’arif Institute (2018) dan PPIM (2017 & 2018) riset ini mempelihatkan bahwa guru (TK-SLTA) memiliki opini intoleran (50 persen) dan radikal (46 persen), sehingga perlu memberikan pemahaman yang sama tentang isu keberagaman toleransi HAM dan KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender) dan dapat menjadi penyebar nilai-nilai kebaikan dan agen perubahan bagi generasi mendatang yang lebih menghargai nilai-nilai tersebut termasuk keindonesiaan dalam berbangsa dan bernegara.

Inilah integrasi perempuan dalam merawat kebangsaan. Disini pula, perempuan memiliki peran handal, yaitu pada ranah penyelenggara negara untuk men-jamin kepentingan perempuan dapat maju bersama dengan laki-laki yang dimanifestasikan dalam bentuk peraturan perundangan atau kebijakan lainnya. Kebangsaan dalam arti membangun habitus kewargaan, di ranah sosiokultural yang merupakan relasi antar warga  dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda. Kebangsaan punya makna yang lebih luas yaitu inklusif, toleran dan transformastif dan bisa diwujudkan dengan gerakan bersama.

Baca juga:  Optimis Menatap BUMDes Menuju 4.0

Itulah gambaran peran perempuan dalam membangun spiritualitas bangsa dari masa ke masa. Namun begitu, hingga saat ini masih ada saja PR yang harus kita selesaikan terkait hak-hak perempuan, seperti pada aras politik, peran perempuan di DPR belum begitu signifikan, ini terlihat dari perempuan yang hanya berjumlah 21 persen  pada Tahun 2019-2024.

Menyusul soalan lainnya, yakni tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Laki-laki 82,51 persen dan perempuan 50,89 persen), kemudian problema hak perempuan dalam mendapatkan kesehatan reproduksi juga masih harus terus diperjuangkan agar semakin layak, masih banyak perempuan yang hidup pada lingkungan yang kumuh, miskin bahkan rawan banjir, gempa dan seterusnya. Di era pandemi, kasus kekerasan berbasis gender semakin meningkat dan di era digital, perempuan juga harus masuk pada sektor-sektor yang bersinggungan dengan teknologi. Artinya, perempuan juga harus mempunyai soft skill, termasuk menguasai teknologi. Itulah tantangan kita saat ini. Ada saatnya berkompetisi dan berkolaborasi. Mangga, bareng-bareng kita maksimalkan peran strategis perem-puan dalam melaksanakan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, dalam mengkonstruksi spiritualitas bangsa.

Penulis, Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *