Putu Rumawan Salain. (BP/kmb)

Oleh Putu Rumawan Salain

Pada kehidupan tradisi masa lalu, wilayah perkotaan di Bali merupakan warisan dari pusat-pusat kerajaan, dengan istana “puri” sebagai pusat kota, pemerintahan, sekaligus perekonomian, sosial, dan  budaya. Penataan ruang wilayah puri hingga rumah tinggal sangat memperhatikan ruang terbuka yang berfungsi sangat pribadi hingga umum.

Dalam penataan wilayahnya terdiri dari desa hingga banjar telah diatur perletakan lokasi Pura Kahyangan Tiga, permukiman, kuburan “setra”, pasar “tenten”,  taman, sawah, kebun, dan lainnya. Sedangkan sumbangan dari permukiman terlihat pada telajakan, natah hingga teba. Keberadaan dan manfaatnya tidak pernah dibahas, lebih sering disebut dengan mula keto!

Kini setelah ratusan tahun kota-kota tradisi bertumbuh dengan pesat seiring dengan meningkatnya kedatangan wisatawan beserta faktor ikutan lainnya. Banyak perubahan lanskap Bali, setidaknya terhadap perubahan fungsi lahan seperti sawah, tepi sungai, danau, ataupun pesisir pantai untuk fungsi-fungsi baru untuk pariwisata dan pendukungnya antara lain penginapan, rekreasi, restaurant, dan lainnya. Di samping itu juga disinyalir bahwa luas hutan yang seharusnya 30 % dari luas wilayah belum terpenuhi atau juga terjadi pengurangan karena penebangan liar. Data yang diperoleh menyebutkan bahwa luas hutan di Bali tahun 2020 tercatat sekitar 23,185 %. Disamping itu terjadi juga secara masih perubahan kepemilikan dan fungsi lahan pertanian di pusat-pusat kota.

Beberapa pengertian tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH) di antaranya adalah ruang yang didominasi oleh lingkungan alami di luar maupun di dalam kota, dalam bentuk taman, halaman, areal rekreasi kota dan jalur hijau. Adapun ciri-ciri utama dari ruang publik adalah terbuka  dan mudah dicapai oleh masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan kelompok maupun individu.

Baca juga:  Reformasi vs Radikalisme

Istilah RTH bukanlah sebutan tanpa maksud, akan tetapi sebuah nama yang memiliki kekuatan hukum yang diatur dalam penataan ruang secara nasional. Dan sangat diyakini bahwa keberadaannya dilandasi oleh latar belakang historis, filosofis, dan yuridis. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 (halaman 7) dijelaskan bahwa RTH adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alami maupun yang sengaja ditanam.

Dari sumber lainnya dijelaskan, RTH adalah wadah yang mewadahi kegiatan manusia dalam suatu lingkungan yang tidak mempunyai penutup dalam bentuk fisik. Wadah dimaksud dapat saja berupa taman, lapangan atletik dan taman bermain. Selanjutnya dalam Pasal 28 huruf a pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, yang dimaksudkan dengan RTH terdiri dari RTH Publik dan Privat untuk daerah perkotaan 30 % dari luas wilayah kota.

Berikutnya dijelaskan lebih rinci lagi bahwa RTH Publik adalah 20% dari luas wilayah kota. Dengan demikian berarti sisanya yang 10% merupakan sumbangan dari RTH Privat. Pemenuhan luas RTH yang 20 % merupakan tanggung jawab pemerintah, sedangkan sisanya berupa RTH Privat adalah sumbangan dari masyarakat atau suasta.

Ketentuan tersebut bisa dicapai jika penegakan Peraturan Daerah di masing-masing kabupaten/kota yang merupakan turunan dari peraturan provinsi dan tidak bertentangan dengan nasional khususnya mengenai RTH dilaksanakan dengan konsisten dan konsekuen. Jika diperhatikan data eksisting Pulau Bali yang terdiri dari 8 kabupaten dengan satu kota, maka derasnya pengalihan fungsi lahan terbaca di wilayah Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan).

Baca juga:  Tambah Luasan RTH, Denpasar Jajaki Pemanfatan LP2B

Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK) termasuk salah satu dari Kawasan Perlindungan setempat dengan kriteria sebagai berikut : 1). Ruang Terbuka di Kawasan Perkotaan yang difungsikan sebagai ruang tanpa bangunan, meliputi : taman kota, hutan kota, lapangan olah raga dan lainnya. 2). Berbentuk suatu hamparan, terbentuk jalur, atau kombinasi dari bentuk satu hamparan dan jalur, dan 3). Di dominasi komunitas tumbuhan. Luas lahan wilayah Kota Denpasar adalah tersempit (127,8 KM2) dari wilayah kabupaten lainnya dan disertai dengan jumlah penduduk yang banyak dan memadati kota, maka keberadaan RTH Publik dan Privat bagi wilayah kota menjadi penting dan perlu.

Atas dasar data yang diperoleh ternyata bahwa luas RTH Publik di Kota Denpasar memiliki luas 2.480 Ha. Luas ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang maupun Peraturan Daerah yang menetapkan seluas 20%. Adapun keberadaannya tersebar pada : 1) Taman kota, 2) Taman rekreasi kota, 3) Lapangan olah raga, 4). Jalur hijau jalan, 5) Sempadan pantai, 6) Sempadan sungai, 7) Tahura Ngurah Rai, 8) Hutan kota, Setra, Makam, dan Estuary dam. Sedangkan untuk luas RTH Privat memiliki luas 2.220 Ha atau sama dengan 16%. Luas ini melebihi ketentuan lagi 6%. Adapun luasan RTH Privat diperoleh dari luas areal persawahan, kebun campuran, dan taman pekarangan perkantoran dan rumah (setidaknya dari keberadaan Telajakan, Natah, Pekarangan rumah, dan teba pada perumahan Tradisional Bali).

Dari kasus tersebut di atas Kota Denpasar sebagai barometer Provinsi Bali masih dengan signifikan memenuhi ketentuan peraturan Penataan Ruang khususnya yang terkait degan RTH. Dengan demikian pertanyaan yang berlangsung adalah kenapa Bali mampu memenuhi fatwa  Undang-Undang sekaligus Perda ditengah lajunya pembangunan? Kuat dugaan bahwa  keberadaan RTH masih memadai dikarenakan: 1) Filosofi Tri Hita Karana, 2) Adanya konsep Tat Twam Asi, 3), Tujuan berupa Moksartam Jagadhita Ya Ca Iti Dharma, 4) Potensi adat yang kuat, 5) Budaya yang dinamis, dan 6) Aset lingkungan alam dan non fisik (salah  satunya Tumpek Uduh).

Baca juga:  Momentum Menata Vegetasi Kota

Dengan melihat kasus Denpasar sebagai contoh tentang RTH, sangat diyakini bahwa kabupaten lainnya pasti memenuhi ketentuan sesuai fatwa Undang-Undang dan Perda. Kini manfaat RTH antara lain sebagai : 1) Paru-paru kota (menyerap karbondioksida  dan menghasilkan oksigen , 2) Resapan Air, 3). Tempat Rekreasi dan Edukasi, 4) Sumber pergerakan Ekonomi, dan dinamika Sosial. 5) Pariwisata,  6) Konservasi lahan, plasma nuftah, dan ekosistem, 7) Meningkatkan citra kota dari aspek estetika dan identitas, 8) Sarana mikro klimat.

Jika masa tradisi lampau pada era kerajaan di Bali dimana luas pulau diasumsikan sama dengan kini, namun jumlah penduduk sedikit dan berpenghidupan sebagai petani maka dapat dibayangkan bahwa Pulau Bali seolah-olah merupakan RTH Kepulauan dengan manfaat yang sama dengan masa kini. Jadikanlah Pulau Bali yang kita tempati sebagai RTH dalam skala kepulauan agar kehidupan dan penghidupan dapat berkelanjutan dan menyejahterakan sekaligus memuliakan alam dan penduduknya sesuai filosofi Tri Hita Karana, konsep Tat Twam Asi, dan melestarikan makna dari Tumpek Uduh menuju Moksartam Jagadhita Ya Ca Iti Dharma.

Penulis arsitek, Pengamat Pembangunan

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *