Ribut Lupiyanto. (BP/Istimewa)

Oleh Ribut Lupiyanto

Tahun 2023 merupakan tahun politik. Tahapan Pemilu 2024 sudah dimulai. Dinamika politik mulai menghangat dengan beragam isu seksi. Isu seksi politik yang muncul masih klasik seputar capres, kompromi regulasi, kerawanan konflik, dan lainnya.

Satu isu strategis yang selalu termarjinalkan adalah afirmasi politik. Regulasi terbatas mengakomodasi 30 persen perempuan wajib dimasukkan dalam komposisi caleg.

Faktanya, ketentuan ini mudah disikapi sebatas formalitas. Perempuan sejatinya memiliki eksistensi dan nilai strategis dalam kehidupan.

Agama memberikan keistimewaan kepadanya untuk dihargai. Negara juga menyandarkan tiangnya kepada perempuan. Catatan Tahunan Komnas Perempuan periode 2012 – 2021 (10 tahun) menunjukkan sekurangnya ada 49.762 laporan kasus kekerasan seksual.

Komnas Perempuan pada Januari sampai November 2022 telah menerima 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik/komunitas dan 899 kasus di ranah personal. Angka kekerasan meningkat karena budaya masyarakat yang masih menempatkan posisi perempuan lebih rendah dibanding laki-laki.

Hal ini dilihat dari sisi pengambilan keputusan yang masih didominasi oleh laki-laki (Azriana , 2018). Ayu Utami (2013) mengungkapkan, kekerasan seksual tidak hanya dimaknai sempit secara fisik berbasis peristiwa seks. Kekerasan seksual dapat berupa jejak hubungan seksual yang secara emosional dan psikilogis tidak beradab, tidak manusiawi, serta tidak terselesaikan secara pantas dan seimbang.

Baca juga:  Perspektif Guru di Tahun Politik

Indonesia memiliki beberapa perundangan sebagai jaminan perlindungan dari tindak kekerasan seksual. Peraturan itu, antara lain Undang-undang (UU) No 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Cedaw), UU No 5/1998 tentang Pengesahan Konvensi Antipenyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, UU No 24/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Hukum Pidana (Pasal 285-289, 291, 294), UU Hukum Perdata (Pasal 1365 dan 1367), serta UU No 1/1947.

Ini khususnya Pasal 6 tentang Syarat-syarat Perkawinan. Faktanya, hukum masih jarang berpihak kepada korban.

Baca juga:  Optimisme Perekonomian Bali 2017

Korban justru semakin termarginalkan. Kasus kekerasan yang memakan korban kaum perempuan terus bertebaran. Kondisi ini menuntut perhatian serius bagi pengambil kebijakan.

Ini untuk mengurusi perlindungan perempuan. Pemilu 2024 merupakan momentum yang tepat untuk menakar komitmen calon legislatif dan partai politik dalam merealisasikannya. Angin segar didapatkan melalui pemenuhan sistem afirmatif.

Ini terkait keterwakilan caleg perempuan. Kesetaraan gender dan semangat menjamin kepentingan perempuan dalam legislasi menjadi landasan peraturan ini. Pemilu 2024 kembali menegaskan kewajiban pencapaian kuota 30 persen bagi caleg perempuan. KPU hingga KPU kabupaten/kota layak diapresiasi karena tegas menerapkan peraturan kuota caleg perempuan.

Problematika kaderisasi menyebabkan parpol kesulitan dalam menyiapkan daftar caleg. Sistem pemilu dengan suara terbanyak semakin membuat sulit. Itu karena kader yang merasa minim modal sosial dan finansial menjadi minder.

Jarang caleg perempuan ditempatkan pada nomor satu atau dua. Meskipun nomor urut sudah tidak sepenuhnya berpengaruh, angka kecil masih dipersepsikan publik sebagai caleg yang diproyeksikan jadi.

Afirmasi Politik

Baca juga:  Menguatkan Kebinekaan demi Kerukunan Bangsa

Kebutuhan lapangan dengan kasus-kasus yang semakin banyak menuntut signifikansi keseriusan memenangkan politik afirmasi caleg perempuan.Parpol mesti serius memenangkan caleg perempuan.

Caleg perempuan memiliki peran strategis dan ikut andil memenangkan suatu parpol meraih kursi. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melaporkan 49,52 persen penduduk Indonesia pada  2022 adalah perempuan.

Artinya, perempuan adalah pasar politik yang potensial.
Pencalonan 30 persen caleg perempuan mestinya
dimaknai sebagai strategi mendulang banyak suara. Caleg perempuan mesti optimistis, serius, dan tidak minder dalam persaingan.

Sistem suara terbanyak memberi peluang sama rata. Nomor urut tidak berpengaruh. Caleg perempuan bahkan memiliki energi ekstra karena didukung suami atau keluarganya.

Keterwakilan 30 persen diprediksi belum mampu memuluskan caleg perempuan duduk di kursi dewan. Apa pun hasilnya legislasi di parlemen mendatang, itu mesti dikawal agar tidak mendiskriminasikan perempuan.

Suara perempuan dan kelompok yang memperjuangkannya masih dibutuhkan agar tetap lantang lima tahun ke depan.

Penulis, Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *