Rumawan Salain. (BP/kmb)

Oleh Putu Rumawan Salain

Arsitektur adalah tanda zaman. Arsitektur tradisional adalah arsitektur yang berlangsung dari waktu ke waktu dengan sedikit perubahan. Perubahan yang berlangsung bisa terkait dengan dimensi, bahan, warna, struktur, dan lainnya, bahkan bisa juga terkait fungsi.

Arsitektur tradisional Bali merupakan arsitektur yang awalnya tumbuh dan berkembang di Pulau Bali hingga kini. Tumbuh kembangnya sangat dinamis dengan perubahan seperti tersebut di atas.

Awalnya arsitektur tradisional Bali tumbuh di tataran fungsi antara lain: Umah, Puri, Pura dengan berbagai strata, dan ruang-ruang publik seperti: setra, bale banjar, di atas wilayah atau pun kawasan yang ditata dengan nilai dan etika lokal yaitu: bhuana agung-bhuana alit, sanga mandala, utama-madya-nista, kaja-kelod dan kangin-kauh, atas-bawah, dan sebagainya. Bahkan secara normatif beberapa fungsi tradisi sudah ada pedomannya seperti Asta Kosalaning Dewa untuk pura, Asta Kosala-Kosali untuk Umah “rumah ”, Asta Kosalaning wong pejah untuk bangunan orang meninggal ”pengabenan”.

Yang dimaksudkan dengan Umah “Rumah” arsitektur tradisional Bali adalah rumah yang dirancang dan dibangun berazaskan Asta Kosala-Kosali, menerapkan aturan Taru Premana, dan disertai upakaranya. Diduga berlangsung setelah pengaruh Majapahit dan terdapat dihampir seluruh dataran rendah Pulau Bali. Setiap fungsi tradisi tersebut diatas difasilitasi oleh arsitek tradisi yang disebut undagi. Undagi berperan mulai awal pembangunan hingga akhir, terkadang ada juga yang dilengkapi dengan peran Sangging bagi rumah yang dilengkapi dengan ukiran.

Dalam setiap tahap proses pembangunan rumah misalnya dilengkapi dengan berbagai upacara seperti ngeruak hingga memasang atap “ngeraabin”, yang selanjutnya diakhiri dengan pamelaspasan. Simbol memang menjadi roh dari perwajahan arsitekturnya, dimana perwajahannya merupakan pengejawantahan dari bhuwana agung “alam” sebagai mandala (tri mandala, sanga mandala)  dan bhuwana alit “manusia” yang di identikan dengan Angga (dikenal dengan Tri Angga). Dengan demikian karya arsitektur tradisional Bali merupakan harmoni dari alam semesta dan manusia sebagai pemakainya.

Kesetaraannya dibahasakan dalam kalimat Tat Twam Asi! Analogi tersebut menyebabkan kita wajib memelihara karya arsitektur tersebut bagaikan kita merawat tubuh kita. Ada etika perlakuan terhadap keberadaan ataupun pemanfaatannya, sejak dari pemilihan bahan sampai dengan sikut “ukuran”. Sikut dalam rumah arsitektur tradisional Bali dikenal ada tiga yaitu : 1). Sikut Karang yang ditetapkan melalui varian rentangan tangan  “depa”, 2). Sikut Natah yang dilandasi oleh tapak kaki, dan 3). Sikut Bangunan lahir dari yang menggunakan jari umum disebut rai. Untuk pengerjaan bangunan dilapangan sikut bangunan berupa rai dan ikutannya ditransformasikan ke dalam sebilah bahan bambu yang dikenal dengan gegulak. Bentuknya mirip penggaris dengan penanda yang dicoak.

Baca juga:  Mewujudkan Guru Penggerak

Rai dan tapak yang digunakan adalah si pemilik bangunan, artinya bahwa arsitektur tradisional Bali  tidak menggunakan standar tunggal, melainkan majemuk sesuai pemiliknya. Bahkan didalam operasionalnya ditambahkan ukuran yang disebut pengurip, misalnya untuk rai ditambahkan a guli madu, sedangkan untuk tapak ditambahkan dengan a tapak ngandang. Artinya  bahwa rumah mereka adalah cerminan pemiliknya atau sebaliknya. Dengan demikian dimensi masing-masing arsitektur sangat ditentukan oleh dimensi tubuh pemilik “pewaris”.

Perbedaan dimensi juga dapat terjadi karena status sosial pemiliknya. Urusan dimensi bangunan terlahir dari ketinggian tiang “saka” bangunannya. Untuk status sosial masyarakat kebanyakan umumnya berada pada kisaran 21 rai ditambah dengan pengurip. Sedangkan bagi kaum ksatrya dapat mengunakan saka diatas 21 rai walaupun dimensi jari tangan mereka sama. Perbedaan dimensi karena status sosial ini diduga sangat kuat berkaitan dengan wibawa yang dipancarkan oleh dimensi bangunannya.

Jika jari tangan menjadi kunci pokok dimensi tiang yang bermuara pada ketinggian bangunan, maka untuk menetapkan jarak satu bangunan dengan bangunan lainnya menggunakan tapak “telapak” kaki pemilik. Jaraknya ditetapkan ataupun dipilih sesuai  dengan harapan, keinginan, maupun kebutuhan si pemakai misalnya: keselamatan, kesejahteraan, dan lainnya. Untuk jarak antar bangunan yang menggunakan tapak berpedoman pada Astawara (Sri, Indra, Guru, Yama, Rudra, Brahma, Kala, dan Uma).

Disamping peran dimensi tubuh manusia “anthropometri” maupun status sosial pengguna dalam karya rumah tinggal “umah” tradisional Bali, juga diatur varian masing-masing  unit bangunannya. Misalnya untuk bale delod ada varian  semanggen hingga bale gede demikian pula untuk varian bale daja, bale meten, hingga gunung rata. Ada pula sebutan untuk lumbung yang terdiri dari varian klumpu hingga jineng. Nama-nama dari varian tersebut selain karena status sosial pemilik juga diketahui dari dimensi ataupun skala bangunannya. Makin tinggi status sosialnya dimensi bangunannya semakin besar. Selain itu diiringi pula oleh ragam ornamen berupa pepalihan hingga ukiran, dan diperbolehkan menggunakan pewarna yang dikenal dengan prada.

Baca juga:  Pesan dari Taman Makam Pahlawan Margarana

Pemberian nama masing-masing bangunan ada beberapa cara yaitu : 1). Sesuai dengan jumlah saka “tiang”, misalnya saka nem, sekutus, saka sanga, hingga roras. Atau 2). Disebut sesuai dengan letak mata angin seperti bale daja, delod, dangin, dan dauh, ataupun juga 3). Atas fungsi nya seperti bale meten untuk tidur, bale semanggen untuk upacara, bale loji untuk tamu, bale paon “ dapur” untuk kegiatan peauan. Konon bagi pasangan yang baru membentuk rumah tangga, umumnya membangun paon sebagai prioritas. Sehingga paon disampaig tempat memasak juga sebagai tempat tidur mereka.

Masing-masing bangunan tersebut dibangun dengan bahan yang mudah diperoleh disekitar mereka tinggal. Bahan yang menggunakan kayu ditetapkan melalui persyaratan yang tercantum dalam Taru Premana. Sedangkan untuk penutup atap kebanyakan menggunakan alang-alang yang diyakini dapat membersihkan pengguna dari muatan niskala “yang tidak nampak”. Logika sekaligus analoginya adalah identik dengan pemakain Karawista. Dinding yang bukan struktural difungsikan sebagai dinding pengisi, pada masa lalu kebanyaan menggunakan tanah polpolan atau bata mentah.

Kini tantangan arsitektur tradisional Bali di tengah-tengah arus perubahan atas nama kemajuan jaman mengalami beragam fenomena antara lain oleh karena pemikiran efisiensi, higienis, waktu, biaya, yang dibingkai oleh kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Lahir dan tumbuhlah beragam karya arsitektur rumah tinggal, setidaknya ada empat kelompok perubahan yaitu : 1), Berubah, dimaksudkan sama sekali sudah tidak mengindahkan pakem tradisi yang ada. Seperti misalnya bangunan yang dibangun pengembang tidak lagi merupakan banyak masa, akan tetapi menjadi masa tunggal, terkadang bertingkat, bahkan ada yang meletakkan bangunan sucinya pada lantai atas. 2). Bercampur, terlihat bagi rumah tradisi yang bertumbuh dengan bangunan kekinian. Yang diupayakan tetap adalah tempat suci, bale semanggen dan atau bale daja, atau bahkan terkadang ada upaya pola dan bentuk tradisi dikembangkan dengan arsitektur kekinian, 3). Tidak berubah, dimaksudkan sebagai kelompok yang sama sekali tidak tersentuh dengan perubahan, jika terjadi terlihat pada penggunaan bahan dan atau penambahan fungsi baru (toiltet, garasi, dan lainnya) yang disesuaikan. 4). Unik, dimaksudkan  lahirnya beberapa model yang sama sekali lain dari aslinya, wujudnya gabungan dari beberapa gaya.

Baca juga:  Keadilan Sosial Melalui Dana Desa

Perkembangan bangunan rumah-rumah arsitektur di Bali kini lebih mengedepankan konsep aristektur Vitruvian yang dibingkai oleh Fungsi, Kokoh, dan Indah. Pengaruh tersebut diduga dibawa oleh penjajah Kolonial Belanda, kemudian dilanjutkan oleh alumni sekolah teknik jaman tersebut. Meningkatnya jumlah penduduk, mahalnya harga tanah, meningaktanya pendapatan dan pesatnya kemajuan pariwisata menjadikan nilai-nilai lokal yang telah berlangsung ratusan tahun berupa harmoni, kepercayaan, symbol, etika, dan nilai mengalami degradasi.

Arsitektur tradisional Bali tidak hanya menampilkan sosok ataupun wujud yang Fungsional, Kokoh, dan Estetika belaka, namun dibalik itu termuat ideologi, kepercayaan, makna, dan symbol harmoninya manusia “pemakai” dengan alam atas restu leluhur dan perkenan Tuhan Yang Maha Esa. Kita wajib bersyukur bahwa pemerintah sangat memperhatikan warisan berupa asset yang tidak ternilai yang disebut dengan arsitektur tradisional Bali, agar tidak punah maka disusunlah Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005 tentang Arsitektur Bangunan Gedung yang melindungi sekaligus mengkonservasi arsitektur tradisional Bali.

Kuatnya Adat dan Agama di Bali merupakan potensi yang sangat signifikan bagi pelestarian fungsi-fungsi arsitektur tradisional Bali. Semisal bagi ummat yang melaksanakan kegiatan upacara Manusa Yadnya maupun Pitra Yadnya pasti membutuhkan fasilitas berupa bangunan arsitektur tradisional Bali, sehingga bangunan fungsi tempat suci “sanggah” dan semanggen, serta ruang terbuka yang disebut natah adalah karya arsitektur yang diupayakan tetap lestari. Bahkan tidak jarang diantaranya  juga mempertahankan agar Bale Daja, angkul-angkul “pintu gerbang” umah beserta pagarnya, dan natah  diupayakan tetap ada sekaligus menjadi identitas simbolik, fungsional, dan  estetik. Mari kita peduli dan lindungi arsitektur tradisional Bali, bukan hanya sebagai identitas tapi juga kebanggaan.

Penulis arsitek, pengamat Pembangunan

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *