DENPASAR, BALIPOST.com – Undang-Undang (UU) Provinsi Bali telah resmi disahkan oleh DPR RI pada 4 April lalu. Dengan demikian dalam hal peraturan tidak lagi menjadi satu dengan Provinsi NTB dan NTT.
Pencapaian Gubernur Bali Wayan Koster ini akan selalu diingat sepanjang masa. Namun demikian, masyarakat mesti memahami manfaat dan latar belakang UU
Provinsi Bali ini secara utuh.
Anggota DPR RI Komisi VI, I Nyoman Parta, S.H., saat acara Diskusi Merah Putih tentang “UU Provinsi Bali Sah, Apa Manfaatnya bagi Bali’’ di Warung Bali Coffee Jl.
Veteran 63 Denpasar, Rabu (12/4) mengatakan, UU Provinsi Bali merupakan perjuangan panjang rakyat Bali
sejak mulainya zaman reformasi. Pada saat itu Menteri Dalam Negeri zaman Presiden Habibie menyebutkan ada tiga daerah yang berhak menyandang otoritas khusus (Otsus) di Indonesia yaitu Aceh, Papua, Bali.
“Kami memanfaatkan momen itu di DPRD Bali sehingga menyusun usulan otsus Bali waktu 1999-2004. Akhirnya
draft disusun. Waktu kita mengusulkan agar Bali dibuat seperti DKI. Pemerintahannya tunggal, Gubernur sebagai pemimpin daerah sekaligus pemimpin wilayah, bupati/wali kota ditunjuk. Tujuannya karena Bali ini kecil, jika tidak dibuat seperti itu maka Bali seperti hari ini,” tuturnya.
Namun, Bali tidak berhasil mendapatkan otsus karena kurang solid. Aceh dan Papua sukses. Selanjutnya 2006 kembali mengusulkan otsus dengan modifikasi rancangan tidak lagi sama seperti otsus pertama.
Ini tidak selesai di Bali dan tidak mendapat respons dari pusat sebab era tersebut otsus terkesan nengatif. Mulai 2019, Gubernur Koster bersama DPRD Bali dan komponen masyarakat Bali kembali berjuang ke Jakarta. Ketika DPR mewacanakan UU Provinsi yang masih berbau RIS dan UUDS akan segera digantikan. Angin segar itu direspons I Nyoman Parta bersama rekannya di DPR-RI agar masuk Prolegnas Prioritas.
Akhirnya RUU Provinsi Bali masuk Prolegnas Prioritas yang pasti dibahas, bukan lagi agenda Komulatif Terbuka. Saat itu Gubernur Koster sering menghadiri dengar pendapat dengan melakukan negosiasi mengingat Bali masih diatur UU bergabung dengan provinsi lain. Sampai akhirnya saat ini telah diundang-undangkan.
“UU Provinsi Bali sangat spesial karena di samping mengubah pembentukan juga masuk di dalamnya karakteristik daerah, juga ada pengokohan desa adat dan subak serta Bali mendapatkan pendanaan dan diberikan kewenangan untuk mendapatkan pendanaan,” ujarnya.
Saat itu Nyoman Parta politisi PDI-P asal Desa Guwang, Sukawati, Gianyar ini diperbantukan dari Komisi VI ke Komisi II. Ada motivasi yang mendorongnya untuk turut memperjuangkan UU Provinsi Bali yaitu adanya perlakuan yang tidak adil terhadap Bali sebelumnya.
Dalam UU nomor 33 tahun 2004 disebutkan bahwa pusat dan daerah mendapatkan dana imbangan dari pajak dan sumber daya alam. “Dari pajak, Bali dapat dan
daerah lain juga dapat. Tapi ketika bicara sumber daya alam, Bali tidak dapat karena Bali tidak memiliki sumber daya alam yang bisa dieksploitasi. Bali tidak memiliki sumber daya alam yang tidak dapat dihitung secara matematika,” ungkapnya.
Sumber daya yang dimiliki Bali hanya kebudayaan, sementara kebudayaan tidak bisa dihitung berdasarkan ukuran gram, kilogram atau liter. Karena itulah Bali tidak mendapatkan apapun selama 19 tahun. Atas kegigihan Gubernur Koster dan komunikasi yang dilakukan ditambah pengalaman tiga periode di Senayan, sehingga relatif paham. “Kontribusinya sangat besar dan memang itu sekarang sudah disahkan,” ujarnya.a
Dengan UU Provinsi Bali telah dicantumkan karakter, pembangunan Bali dan filosofi masyarakat Bali dan tuntunan hidup orang Bali yaitu Sat Kerthi. “Dengan masuknya ini akan menjadi pegangan betul para pemimpin Bali ke depan. Akan menjadi patokan membangun Bali,” ujarnya.
Tri Hita Karana dan Sat Kerthi selama ini hanya masuk dalam literatur sastra namun belum pernah masuk ke dokumen formal dan UU. Dengan masuknya THK dan Sat Kerthi ini akan menjadi proses pengokohan lagi lebih tegas dalam UU. Jadi kata kuncinya adalah pembangunan SDM Bali, alam Bali dan budaya Bali.
Apa nilai manfaat UU Provinsi Bali? Secara tegas I Nyoman Parta yang dikenal akrab dengan rakyat ini setidaknya ada empat manfaat diperoleh demi kesejahteraan rakyat. Pertama, UU ini mengangkat dan memberdayakan desa adat dan subak yang tadinya hanya diatur di perda kini dikuatkan di UU. Keduanya akan sempurna sebagai subjek hukum.
Kedua, untuk merawat budaya Bali yang dinilai sangat mahal biayanya. Selama ini pengembangan budaya terasa ringan karena didukung manusia Bali sejak kecil. Dengan UU ini, pemerintah pusat tak boleh membiarkan
masyarakat Bali menanggung biaya budayanya sendiri, sementara dari budaya Bali pemerintah pusat banyak mendapatkan penerimaan.
Ketiga, Bali tak boleh selamanya tak dapat anggaran dari sumber alam. Dengan bercirikan budaya dan pariwisata, Bali dipastikan dapat dana APBN untuk pengembangan keunggulan tersebut seperti diterima DI Yogyakarta yakni Rp1,2 T setahun. Keempat, Bali memiliki kewenangan melakukan pungutan ke wisatawan dan sumber lain yang sah.
Dana ini dipakai penuh untuk pelestarian lingkungan dan alam Bali, desa adat dan subak, kebersihan hingga pembangunan fasilitas pariwisata yang memadai agar wisatawan nyaman di Bali.
Penasihat BVA Gede Nick Sukarta yang juga Sekretaris PHRI Badung sangat mengapresiasi perjuangan Gubernur Koster bersama anggota DPR-RI di senayan hingga lahir UU Provinsi Bali. Era baru ini, kata dia, akan memberi angin segar soal penataan Bali ke depan termasuk dalam bidang pariwisata Bali yang berwawasan budaya.
Ia mengatakan, pariwisata Bali baru saja sembuh dari pandemi. Dengan perkembangan pariwisata saat ini, menurutnya pariwisata tahun 2023 sudah sangat menggembirakan. Bali memiliki 6.000 hotel dan 83% ada di Badung. Maka dari itu dengan UU Provinsi Bali ia berharap terjadi pemerataan pariwisata yang ujungnya adalah mendorong kesejahteraan masyarakat.
Terhadap kewenangan melakukan pungutan ke wisatawan, dia sarankan dilakukan secara transparan dan benar-benar diterima oleh Pemerintah Bali dan untuk kepentingan Bali. (Citta Maya/balipost)