Oleh Agung Kresna
Kasus Mario Dandy Satriyo bak membuka kotak Pandora di kalangan masyarakat terkait upaya menunjukkan kelebihan yang mereka miliki, dan tidak dimiliki orang lain. Meski kelebihan tersebut lebih sering berwujud kepemilikan atas suatu barang atau property yang bernilai mahal. Bukan suatu kelebihan atas prestasi yang mereka miliki.
Tampil di aneka platform media sosial, nampaknya menjadi ajang eksistensi diri beberapa pribadi masyarakat. Mereka seakan ingin menunjukkan ke publik bahwa mereka pantas untuk dimasukkan dalam kategori sosialita serta dianggap memiliki kelas sosial khusus, berbeda dengan yang lainnya.
Sayangnya acapkali apa yang mereka tampilkan dalam platform media sosial pribadinya, menafikan nilai-nilai kepantasan sosial beserta etika budaya yang seharusnya. Tampilan aneka foto dan video pribadi yang mereka unggah, lebih sering mengabaikan kesantunan sosial yang sudah seharusnya mereka miliki. Ada kalanya mereka memaksakan diri tampil glamor dengan aneka barang dan aksesoris, yang sebenarnya tidak mereka miliki; namun hanya barang pinjaman atau sewaan semata. Atau bahkan mereka tampil dengan barang KW alias palsu, atau justru barang dari hasil tindak kriminal yang mereka lakukan.
Menurut Josh Cohen –seorang psikoanalisis sekaligus guru besar Teori Sastra Modern di Goldsmiths University of London- fenomena tersebut terjadi karena adanya jebakan perfeksionisme, yang ditanggapi secara kurang tepat. Sehingga terjadi kesalahan pemahaman atas sikap perfeksionis yang seharusnya. Cohen dalam tulisannya di majalah The Economist edisi 10 Agustus 2021, menyebutkan adanya fantasi perfeksionis yang dikembangkan menjadi adanya hidup yang sempurna, rumah mewah, tempat berlibur yang menakjubkan; sebagaimana sering ditampilkan dalam berbagai iklan maupun layar televisi, serta platform media sosial.
Sementara psikolog Inggris Thomas Curran dan Andrew Hill menyebutkan bahwa peningkatan keinginan dan ambisi untuk memiliki hidup sempurna tersebut, telah menjelma menjadi jebakan parameter sosial yang baru. Sehingga memacu orang untuk tidak mau menjadi pribadi yang hanya “biasa-biasa” saja.
Akibatnya keputusan yang kita ambil dalam hidup keseharian kita, seringkali tidak bisa dilepaskan dari apa yang tertayang di aneka platform medsos. Kita seharusnya memiliki kesadaran bahwa apa yang ada dalam realitas media sosial, seringkali berbeda dengan realitas yang sesungguhnya. Kita bagai hidup dalam algoritma media sosial.
Tidak ada salahnya jika kita belajar dari apa yang diungkap oleh Anthony de Mello SJ dalam bukunya Burung Berkicau (The Song of The Bird, 1982). Dikisahkan seorang nelayan yang sedang berbaring santai di perahu kecilnya, karena hari itu ikan hasil tangkapannya sudah banyak dan dirasakan cukup serta memuaskannya; meski hari masih pagi. Kemudian melintas usahawan kaya dan mempertanyakan sikap nelayan tersebut. Mengapa sang nelayan tidak melanjutkan menangkap ikan yang lebih banyak lagi, agar dapat terkumpul uang lebih banyak lagi. Sehingga dia dapat menabung untuk membeli perahu yang lebih besar guna mencari ikan lebih banyak, yang dapat membuatnya kaya raya.
Selanjutnya sang nelayan bertanya, apa yang harus diperbuatnya jika sudah banyak uang dan kaya raya. Sang usahawan mengatakan bahwa jika sudah kaya, maka kita bisa istirahat sambil menikmati hidup. Sang nelayan pun menjawab bahwa saat ini dia sedang beristirahat sambil menikmati hidupnya. Cara kita hidup memang sebuah pilihan. Akankah kita mengikuti budaya parameter sosial yang ada di medsos, serta hidup kita akan dikendalikan oleh algoritma dalam media sosial. Jauh lebih bijaksana jika kita menjaga kemampuan untuk menikmati hidup seutuhnya, daripada memupuk uang. Semua pilihan ada pada diri kita sendiri.
Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Uran Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar