Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Mohammad Syahril saat menyampaikan keterangan kepada wartawan di Gedung Kemenkes RI, Selasa (18/4/2023). (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibuslaw justru menghambat upaya peningkatan perlindungan hukum bagi kalangan tenaga kesehatan (nakes). Demikian dikatakan Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Mohammad Syahril, dikutip dari Kantor Berita Antara, Minggu (14/5).

“Kalau memang kekhawatirannya masalah pelindungan hukum, kenapa tidak dari dulu organisasi profesi bergerak dan berinisiatif untuk mengubah,” kata Mohammad Syahril di Jakarta, Minggu.

Ia mengatakan, pasal-pasal terkait hukum yang dikhawatirkan para dokter dan tenaga kesehatan, sebenarnya sudah ada di tubuh undang-undang yang berlaku sejak 20 tahun terakhir. Syahril yang juga menjabat sebagai Dirut RSPI Sulianti Saroso Jakarta itu mengatakan RUU Kesehatan yang saat ini sedang dibahas oleh DPR justru memfasilitasi peningkatan pelindungan hukum yang lebih jelas dan kuat untuk dokter, perawat, bidan, apoteker, dan tenaga kesehatan lainnya dalam memberikan pelayanan.

“DPR justru memulai inisiatif untuk memperbaiki undang-undang yang ada, sehingga pasal-pasal terkait pelindungan hukum ini menjadi lebih baik. Pemerintah pun mendukung upaya ini,” katanya.

Baca juga:  Temui Bupati, Pengabdi Tenaga Kesehatan Bangli Berharap Ini

Upaya untuk menolak RUU Kesehatan akan mengembalikan pasal-pasal terkait hukum yang ada seperti dulu. Yang sudah terbukti membuat banyak masalah hukum bagi para dokter dan nakes di Indonesia. Salah satu usulan peraturan dalam RUU Kesehatan yang dianggap bermasalah oleh organisasi profesi adalah situasi dimana dokter dapat digugat secara pidana atau perdata, meskipun sudah menjalani sidang disiplin. “Padahal, aturan tersebut adalah aturan lama yang sudah berlaku di UU Praktik Kedokteran 29/2004 saat ini,” katanya.

Dalam pasal 66 ayat (1) UU Praktik Kedokteran 29/2004 disebutkan bahwa setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

Lebih lanjut, ayat (3) menyatakan bahwa pengaduan tersebut tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

Baca juga:  Gunung Bromo Bukan Saja Harus Dilindungi, Tetapi Dijaga Kesuciannya

Menurut Syahril, pasal-pasal tersebut masih dalam pembahasan oleh DPR dan pemerintah untuk dapat diperbaiki.

Dikatakan Syahril ada beberapa usulan baru pasal terkait dalam RUU Kesehatan di luar pasal-pasal pelindungan hukum yang sudah berlaku saat ini.

Salah satunya adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan. RUU Kesehatan mengedepankan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian perselisihan, seperti yang tertuang dalam Pasal 322 ayat 4 Daftar Inventarisasi versi pemerintah yang memuat antiperundungan. “Tenaga medis dan tenaga kesehatan dapat menghentikan pelayanan kesehatan apabila memperoleh perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai sosial budaya, termasuk tindakan kekerasan, pelecehan dan perundungan,” katanya.

Pelindungan bagi peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan dari kekerasan fisik, mental dan perundungan juga tertuang dalam Pasal 208E ayat 1 huruf d DIM pemerintah.

Baca juga:  IAKMI Minta Beban Kerja Nakes Diperhatikan

RUU Kesehatan juga memuat perlindungan untuk peserta didik dalam menjamin hak mereka mengakses bantuan hukum saat terjadi sengketa medik selama mengikuti proses pendidikan. “Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 208E ayat 1 huruf a DIM Pemerintah,” katanya.

Hal lainnya yang juga diakomodasi dalam RUU Kesehatan berupa proteksi tenaga kesehatan dan tenaga medis dalam keadaan darurat.

Tenaga medis dan Tenaga Kesehatan yang melaksanakan upaya Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan Wabah berhak atas pelindungan hukum dan keamanan serta jaminan kesehatan dalam melaksanakan tugas seperti yang tertuang dalam Pasal 408 ayat 1 DIM Pemerintah. “DPR dan pemerintah masih membahas pasal pelindungan hukum dan mengundang masukan dari publik,” katanya.

Syahril menambahkan, upaya menjegal proses pembahasan RUU Kesehatan bukanlah solusi. “Apabila kepentingan utama organisasi profesi adalah pelindungan hukum, justru sekarang inilah saat yang tepat untuk melakukan perbaikan,” ujarnya. (kmb/balipost)

BAGIKAN