SINGARAJA, BALIPOST.com – Masyarakat Kabupaten Buleleng pada Buda Kliwon, Wuku Sinta, merayakan Hari Suci Pagerwesi. Hari suci yang dirayakan setiap 6 bulan sekali ini tergolong istimewa.
Hal ini terlihat jauh berbeda dengan perayaan Hari Raya Pagerwesi di daerah lain di Bali. Ada petuah-petuah leluhur yang masih dijaga masyarakat di Bali utara hingga saat ini.
Akademisi Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Negeri Mpu Kuturan Singaraja, Nyoman Suka Ardiyasa menjelaskan bahwa sejak turun temurun, masyarakat khususnya di Kabupaten Buleleng selalu menyambut sukacita perayaan Hari Suci Pagerwesi sebagai pemujaan terhadap Hyang Pramesti Guru. Menurutnya ini yang tidak ditemukan di daerah lainnya di Bali selain di Bali Utara.
Disamping itu, ada petuah dari tetua Buleleng yang diwariskan turun-temurun dan mengamanatkan keturunannya untuk merayakan Pagerwesi secara sungguh-sungguh sebagai Perayaan peneguhan di dalam diri secara lahir batin. “Kebiasaan ini diwujudkan dengan melaksanakan perayaan secara meriah layaknya seperti perayaan Galungan dan Kuningan. Bahkan kebanyakan masyarakat buleleng menyebut hari Suci Pagerwesi sebagai Hari Galungan-nya warga di Bali Utara,” katanya.
Lanjut Suka, perayaan hari Suci Pagerwesi juga tidak terlepas dari Hari raya Saraswati, Banyu Pinaruh, Soma Ribek dan Sabuh Mas. Menurutnya, keempat ini merupakan satu ikatan yang erat kaitanya dengan Hari Raya Pagerwesi. “Karena hal inilah sebagian masyarakat Buleleng secara sungguh-sungguh melakukan Perayaan Pagerwesi seperti halnya merayakan hari Raya Galungan,” imbuhnya.
Bahkan saat ini di kabupaten Buleleng, yang lebih dominan melakukan hari Suci Pagerwesi, kata Dosen Stah Mpu Kuturan ini, yakni di Kawasan perkotaan dan sekitarnya. Perbedaaan perayaan tersebut tidak bisa dilepaskan dari perbedaan Kultur dan Geografis pada masa lampau.
“Secara geografis masyarakat Buleleng dahulu dibagi menjadi dua bagian wilayah yaitu Dangin Enjung dan Dauh Enjung. Perbedaan kultur dan geografis inilah yang membedakan cara masyarakat Buleleng melakukan perayaan Pagerwesi,” pungkasnya.
Di sisi lainnya, usai melakukan persembahyangan baik di Pura Kahyangan Tiga, Merajan atau pura lainnya, selalu dibarengi dengan kegiatan Munjung ke Setra. Biasanya masyarakat yang melakukan persembahyangan di kuburan menghaturkan punjung yang berisi olahan daging, nasi, minuman hingga jajan Bali.
Yang dikunjungi adalah makam leluhur yang belum diaben. Bahkan tidak jarang ada yang menambahkan makanan kesukaan leluhur yang telah meninggal.
Biasanya persembahyangan dilakukan oleh keluarga besar. “Dari kepercayaan ini jelas ada sebuah keyakinan bahwa perayaan hari raya Pagerwesi khusuk jika melakukan tradisi sembahyang ke kuburan atau melakukan penghormatan kepada leluhur yang belum di Aben. Masyarakat Buleleng meyakini dengan melakukan persembahyangan kepada leluhur merupakan bentuk penghormatan agar selalu diberikan anugerah dalam menjalani kehidupan didunia. Hal inilah salah satu penyebab perayaan Pagerwesi di Buleleng sangat spesial sehingga dirayakan secara sukacita,” kata Suka. (Nyoman Yudha/balipost)