Achmad Ali. (BP/Istimewa)

Oleh Achmad Ali

Di tengah melambatnya perekonomian global dan menurunnya harga komoditas produk utama ekspor, perekonomian Bali pada kuartal I 2023 mampu tumbuh 6,04 persen secara tahunan (year on year/y-on-y). Paling tidak ini menandakan ekonomi Bali mulai menggeliat pascapandemi Covid-19, kendati terjadi sedikit perlambatan dibandingkan capaian kuartal sebelumnya 6,61 persen.

Menggeliatnya pertumbuhan ekonomi Bali itu setidaknya tercermin dari sejumlah indikator. Pertama, berakhirnya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang berdampak pada peningkatan mobilitas penduduk, sehingga turut mendongkrak kinerja ekonomi sektoral (lapangan usaha) seperti peningkatan aktivitas angkutan udara, kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) serta penyediaan akomodasi makan dan minum.

Kedua, stabilitas daya beli masyarakat di Bali relatif masih terjaga, terlihat dari tingkat inflasi gabungan di Kota Denpasar dan Singaraja secara tahunan (year on year/y-on-y) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali tercatat 5,46 persen pada Maret 2023. Data inflasi terkini memang berada dalam tren menurun. Kendati begitu, angka Indeks Harga Konsumen (IHK) terkini masih belum berada pada teritorial alamiah yakni di kisaran tiga persen. Seperti diketahui, inflasi yang tinggi akan menekan daya beli masyarakat. Imbasnya, konsumsi rumah tangga yang memiliki andil lebih dari 50 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pun rawan tergerus.

Baca juga:  Tingkat Pengangguran Terbuka Nasional Alami Penurunan

Ketiga, aktivitas produksi industri pengolahan terbilang cukup menjanjikan. Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan indeks produksi sebesar 9,09 persen untuk industri mikro kecil, dan 0,35 persen untuk industri besar sedang secara periode triwulanan pada kuartal I 2023. Pertanyaannya kemudian, adakah peluang memacu pertumbuhan ekonomi Bali ke depan di tengah keriuhan aroma politik yang mulai terasa dan membuat investor waswas?

Peluang dan optimisme untuk memacu pertumbuhan ekonomi Bali ke arah perbaikan dan pemulihan tentu masih terbuka lebar. Misalkan saja, secara sektoral (lapangan usaha), lebih dari separuh ekonomi Bali pada kuartal I 2023 (year on year/y-on-y) dikontribusikan oleh 4 (empat) lapangan usaha utama, yakni Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 19,22 persen; Pertanian, Kehutanan dan Perikanan 13,72 persen; Konstruksi 10,05 persen; serta Transportasi dan Pergudangan 9,81 persen.  Sementara dari sisi konsumsi, kontribusi komponen utama adalah konsumsi rumah tangga 56,03 persen; ekspor luar negeri 31,43 persen; dan investasi (Pembentukan Modal Tetap Bruto) 27,64 persen. Ini berarti untuk menjaga mesin pertumbuhan ekonomi Bali ke depan, keempat lapangan usaha utama tadi mesti “diamankan”.

Baca juga:  Sisi Gelap Pendidikan Sekolah

Ada beberapa hal yang pantas kita beri perhatian bagi keberlangsungan perekonomian Bali ke depan. Pertama, untuk menjaga agar kontribusi konsumsi rumah tangga tidak terperosok, maka pengendalian inflasi sangat diperlukan. Khususnya, inflasi yang bersumber dari harga yang diatur pemerintah (administered prices). Salah satu pengendalian inflasi adalah dengan memperlancar arus distribusi barang dan jasa. Kedua, kebijakan optimalisasi komponen ekspor dan investasi mesti terus dipacu. Apalagi kedua komponen ini memainkan peran penting dalam memantik mesin ekonomi Bali. Maklum, konsumsi rumah tangga masih cukup rentan untuk dijadikan pijakan utama karena bencana inflasi yang belum cukup ramah. Ketiga, satu-satunya faktor yang masih bisa diandalkan untuk menggerakkan ekonomi Bali adalah konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT).

Kendati kontribusi LNPRT terhadap PDRB Bali relatif kecil hanya 1,51 persen pada kuartal I 2023 (year on year/y-on-y), setidaknya Pemilu 2024 yang aktivitasnya sudah dimulai pada tahun ini dapat menambah daya gedor perekonomian, sehingga bisa mengompensasi penurunan porsi dari konsumsi rumah tangga, ekspor, maupun investasi. Dalam kaitan belanja LNPRT, sejumlah sektor usaha pun banyak yang diuntungkan. Mulai dari penyediaan akomodasi, makan dan minum, tekstil dan produk tekstil, hingga transportasi. Hal itu terdongkrak oleh aktivitas yang bersumber dari aktivitas belanja partai politik, lembaga survei, jasa konsultan, dan bisnis lainnya yang berkaitan dengan penyeleggaraan pemilu.

Baca juga:  Pertumbuhan Ekonomi RI Triwulan I-2024 Tertinggi Sejak 2015

Pada akhirnya, kita tentu harus jujur mengakui bahwa masih begitu banyak persoalan yang dihadapi perekonomian Bali ke depan. Risiko utama masih dari seberapa cepat penanganan pemulihan dan perbaikan ekonomi agar dapat terwujud pertumbuhan ekonomi tinggi dan inklusif. Meminjam pandangan Gubernur Bali Koster bahwa sejak lama Bali tidak memiliki haluan untuk menyelenggarakan pembangunan secara fundamental, komprehensif, dan berkelanjutan. Karena itu, perlu keharusan bertindak untuk menyusun konsep Bali masa depan sebagai haluan pembangunan Bali dengan arah dan strategi yang jelas, terukur, dan berdimensi jangka panjang sampai 100 tahun ke depan.

Penulis, Statistisi Ahli Madya pada Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Buleleng Provinsi Bali

BAGIKAN