TABANAN, BALIPOST.com – Keberagaman tradisi dan keindahan alam Bali tetap hidup dan terus dilestarikan oleh masyarakat lokal di seluruh daerah hingga saat ini. Salah satu desa adat yang menjadi penjaga kekayaan seni, budaya, dan ritual keagamaan di Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, adalah Desa Adat Apuan.
Desa ini memiliki potensi yang luar biasa dan bahkan bermimpi untuk menjadi desa wisata berbasis budaya dengan dukungan program desa serta semangat persatuan dan gotong royong yang tinggi. Langkah ini sejalan dengan kebijakan dan program pemerintah Provinsi Bali yang mengarah pada Bali Era Baru.
Dengan jumlah krama adat sekitar 300 kepala keluarga, Desa Adat Apuan telah dikenal sejak lama karena keberagaman kesenian tradisionalnya. Pada masa lalu, kesenian seperti arja cupak, wayang cupak, dan wayang kulit menjadi sorotan masyarakat karena kepopulerannya. Beberapa dalang terkenal pada masa itu antara lain Pan Baruk dalam wayang cupak, serta Pan Suka, Pan Ruming, Pan Resin, Pan Reka, dan Pan Raben dalam wayang kulit.
Generasi berikutnya melahirkan dalang wayang kulit seperti Made Tastra, Wayan Resiani (dalang perempuan), Ketut Murtana, dan Wayan Bratasena. Kesenian tradisional seperti tari baris gede, topeng, dan tarian lainnya tetap eksis di desa ini. Bahkan, sanggar seni Ganda Wangi Giri Savara yang dipimpin oleh Ketut Murtana, S.Sn., yang juga menjabat sebagai bendesa adat Apuan, menjadi tempat bagi para pemuda belajar tari, kerawitan, dan seni tradisional lainnya.
Bendesa adat Apuan, Ketut Murtana, menjelaskan bahwa Desa Adat Apuan tidak hanya mewarisi kekayaan budaya dan alam yang luar biasa, tetapi juga melahirkan sumber daya manusia yang unggul dan kompeten, baik di bidang perlindungan lingkungan, komoditas, maupun seni. Salah satu contoh adalah almarhum Made Wianta, seorang maestro seni lukis yang namanya dikenal di seluruh dunia.
Generasi berikutnya melahirkan pelukis seperti Wayan Surata, Nyoman Parbasana, Made Gunawan, Jro Mangku Ketut Mastrum, Ketut Kabul Suasana, Kadek Dedy Sumantra, Jro Mangku Wayan Sumerta, dan banyak lainnya. Tak hanya memiliki potensi seni, Desa Adat Apuan juga memiliki tempat pangelukatan yang terletak di Pura Gunung Lebah, yang juga dikenal sebagai pura campuhan.
Di tempat ini, dua sungai besar, yaitu Sungai Yeh Aon dan Sungai Yeh Sungi, bertemu. Pertemuan sungai ini juga memunculkan sumber air dari bawah tanah. Oleh karena itu, tempat pangelukatan ini disebut sebagai Campuhan Tiga, mengacu pada pertemuan tiga sumber air yang dianggap suci untuk prosesi pangelukatan. Tempat ini terletak sekitar satu kilometer arah tenggara Desa Adat Apuan. Untuk mencapai lokasi pangelukatan ini, masyarakat dapat berjalan kaki melalui jalan setapak yang sudah dibeton, melintasi lembah, atau menggunakan kendaraan melalui jalan berbeton yang melintasi tegalan.
Bendesa Adat Apuan, Ketut Murtana menambahkan bahwa sebagai langkah untuk memperkuat destinasi pariwisata baru yang berbasis budaya dan memajukan kebudayaan Bali, pihaknya berencana untuk mengajukan Desa Adat Apuan sebagai desa wisata berbasis budaya. “Kami memiliki impian untuk menjadikan desa ini sebagai destinasi wisata budaya. Dengan dukungan dan semangat gotong royong dari masyarakat, impian kami akan menjadi kenyataan di masa depan,” ucapnya penuh harap.
Desa Adat Apuan merupakan sebuah contoh nyata tentang bagaimana masyarakat lokal secara aktif melestarikan tradisi dan kekayaan budaya mereka. Dengan memadukan kesenian tradisional, potensi alam yang memukau, dan semangat persatuan, desa ini berusaha menjaga identitasnya dan menjadi magnet bagi wisatawan yang mencari pengalaman budaya yang otentik di Bali. (Puspawati/balipost)