Djoko Subinarto. (BP/Istimewa)

Oleh Djoko Subinarto

Menggapai kemenangan dalam ajang pemilihan umum [pemilu] adalah penting. Namun, nilai-nilai etika dan moralitas jauh lebih penting untuk diperjuangkan. Munculnya kampanye hitam bisa jadi selain karena kekurangdewasaan dalam berpolitik, juga karena dorongan sangat besar untuk meraih/mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.

Pemilihan umum legislatif [pileg] dan pemilihan umum presiden [pilpres] 2024 diharapkan dapat berlangsung bersih, mulus, damai serta sehat, jauh dari praktik-praktik kampanye hitam yang penuh dengan fitnah, sentimen rasisme dan kebencian. Kita tidak ingin momen menjelang pesta politik menjadi ajang menebar rasa permusuhan serta menebar aneka bentuk kebencian sehingga memicu timbulnya kegaduhan serta keresahan di masyarakat.

Kampanye merupakan hal yang lazim dan mentradisi menjelang momen pemilihan umum. Beragam jenis kampanye dilakukan oleh masing-masing kontestan peserta pemilihan umum, bersama tim sukses mereka, guna menggaet sebesar mungkin dukungan khalayak yang akhirnya berkenan memberikan suara mereka pada saat hari H pemilihan.

Kampanye merupakan salah satu elemen penting dalam upaya memenangi pertarungan untuk meraih dan atau mempertahankan kekuasan politik lewat mekanisme pemilihan umum di negara yang menganut sistem demokrasi.

Baca juga:  Pusat Kebudayaan Bali, Strategi Mengembalikan Kejayaan Bali

Ditilik dari aspek etimologis, kampanye berasal dari kata bahasa Prancis kuna, champagne. Awalnya, kata ini hanya untuk menggambarkan rangkaian operasi militer ke sebuah daerah untuk mencapai misi tertentu. Barulah di tahun 1800-an, kata ini masuk ke dalam khazanah bahasa Inggris dan kemudian lebih populer digunakan untuk menunjukkan aktivitas politik menjelang pemilihan umum yang bertujuan mempengaruhi para pemilih di sebuah daerah pemilihan.

Lewat aktivitas kampanye inilah para kontestan pemilihan umum berlomba-lomba berusaha menarik minat publik calon pemilih dengan harapan calon pemilih akan menjatuhkan pilihan kepada mereka.

Karena tujuannya untuk menarik minat pemilih, maka dalam kampanye biasanya yang dikedepankan adalah hal-hal yang serba indah dan ideal. Termasuk antara lain menabur pelbagai janji manis kepada publik calon pemilih. Perkara janji-janji itu bakal bisa ditepati atau tidak, tampaknya itu perkara lain.

Sudah menjadi hal yang sangat biasa pula tatkala dalam masa-masa kampanye menjelang pemilihan umum dilangsungkan, para kandidat berusaha menampilkan diri mereka seapik, sebersih dan sebaik mungkin dalam semua hal. Para kandidat berupaya menjadi yang terbaik di antara yang terbaik.

Baca juga:  Santer Disebut Jadi Bakal Cawapres Ganjar, Ini Kata Sandiaga Uno

Bahkan, tidak cukup dengan upaya seperti itu, sebagian kandidat — bersama tim suksesnya — tidak jarang melakukan pula apa yang disebut sebagai kampanye hitam yang menyerang kandidat lain yang merupakan lawan-lawan politiknya. Tujuan utama kampanye hitam adalah untuk menjatuhkan reputasi dan citra seseorang, hingga ke titik paling rendah. Lewat kampanye hitam, (yang umumnya berupa fitnah dan pemutar-balikkan fakta-fakta) lawan politik berusaha digambarkan sedemikian buruknya sehingga bakal melahirkan kesan dan sentimen negatif di mata publik.

Kompetisi Kepentingan

Munculnya kampanye hitam bisa jadi selain karena kekurang dewasaan dalam berpolitik, juga karena dorongan sangat besar untuk meraih/mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Hal seperti itu sangat boleh jadi terbentuk lantaran politik sebatas dipahami sebagai ajang kompetisi kepentingan-kepentingan sempit pribadi dan kelompok. Karena politik hanya menjadi ajang kompetisi-kompetisi kepentingan sempit pribadi dan kelompok, maka persoalan benar dan salah, persoalan baik dan buruk menjadi hal yang kerap diabaikan.

Kepentingan sempit dan pragmatisme akhirnya meletakkan tujuan-tujuan politik jangka pendek di atas segala-galanya dan tak jarang meminggirkan moralitas serta etika. Demi kepentingan dan pragmatisme politik jangka pendek, bualan, praktik adu-domba, fitnah, hasutan, pengkhianatan, suap, teror, dan praktik-praktik kotor lainnya akhirnya dihalalkan.

Baca juga:  Sensus Penduduk dan Penantian Bonus Demografi

Bentuk-bentuk praktik kampanye hitam haruslah dihindari lantaran hanya akan menciptakan iklim tidak sehat dalam sistem demokrasi kita. Di sisi lain, kampanye hitam juga akan membuat masyarakat saling curiga sehingga tidak menguntungkan bagi persatuan bangsa ini. Rivalitas, sesengit apa pun, dalam kontestasi pemilihan umum adalah hal yang wajar. Kalah dan menang dalam pemilihan umum juga hal biasa. Nilai-nilai sportivitas, kejujuran, persaudaraan, perdamaian, dan persatuan merupakan aspek yang harus senantiasa diprioritaskan.

Menggapai kemenangan dalam pemilihan umum memang perlu upaya dan kerja keras. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa para peserta pemilihan umum harus abai terhadap aspek moralitas dan etika sehingga hal apa pun layak dilakukan. Bukankah akan teramat indah, teramat mengesankan, serta teramat bermakna, tatkala kemenangan yang berhasil diraih dalam ajang sebuah kompetisi (apa pun jenis kompetisinya) diwujudkan dengan cara-cara yang bersih, santun, dan jujur.

Penulis, Kolumnis dan Blogger

BAGIKAN