Oleh Wawan Susetya
Sejak awal kemerdekaan hingga sekarang atau sejak kepemimpinan Bung Karno hingga Joko Widodo kini jelas mengisyaratkan model kepemimpinan yang terpilih bersifat Jawa Centris. Lalu, apakah model kepemimpinan di 2004 ke depan masih bersifat Jawa centris ataukah tidak?
Hemat penulis, kayaknya model kepemimpinan periode tahun 2024-2029—yang para calonnya sudah berkiprah di tengah-tengah rakyat—masih menggunakan pola lama alias “Jawa sentris”. Hal itu terbukti, misalnya tiga capres yang telah muncul tergolong orang Jawa, yakni Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Prabowo Subianto.
Maka mau tak mau kepemimpinan yang diharapkan rakyat tentu yang memiliki konsep kepemimpinan ala Jawa. Terlepas dianggap sukses atau tidaknya kepemimpinan para pemimpin Jawa sebelumnya, yang jelas jika belum memiliki konsep kepemimpinan model Jawa tentu akan mengalami goncangan atau permasalahan.
Lantas, apa model kepemimpinan Jawa? Bagi masyarakat Jawa, rupanya, sudah tak asing lagi dengan istilah “Ilmu Hastha Brata” yang disosialisasikan dalam pewayangan. ‘Ilmu Hastha Brata’ digambarkan dalam pewayangan bahwa dengan ilmu tersebut dapat mengantarkan kesuksesan dua orang Raja besar titisan Bathara Wisnu—yakni Sri Rama Wijaya Raja Ayodya dan Sri Bathara Kresna Raja Dwarawati—dalam memimpin negara.
‘Ilmu Hastha Brata’ adalah ilmu tentang kepemimpinan, yakni dengan meneladani 8 (delapan) unsur perwatakan alam yang telah dimiliki oleh raja besar yang adil, berwibawa, arif dan bijaksana; yakni Prabu Rama Wijaya dan Sri Bathara Kresna. Bila Prabu Rama Wijaya kemudian memberikan wejangan ‘Ilmu Hastha Brata’ kepada saudaranya Prabu Bharata dan Raden Wibisana, sedang Prabu Kresna memberikan wejangan kepada Raden Arjuna.
Lantas, bagaimana rahasia ilmu kenegaraan itu? ‘Ilmu Hastha Brata’ adalah meneladani perwatakan 8 (delapan) unsur alam semesta dalam kehidupannya sehari-hari, sebagai berikut: Pertama, hambeging kisma (wataknya bumi) yang maknanya kaya, suka berdarma, kaya hati (lembah manah, legawa). Seorang pemimpin yang meneladani watak bumi, niscaya dia akan senatiasa memperhatikan nasib rakyat kecil yang menderita dan dilanda kemiskinan. Kedua, hambeging tirta (wataknya air) yang maknanya selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah dan selalu bersikap andhap asor anoraga atau rendah hati dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, hambeging samirana (wataknya angin) yaitu selalu meneliti dan menelusup ke mana-mana, sehingga benar-benar mengetahui secara persis persoalan-persoalan yang ada di masyarakat. Keempat, hambeging samodra (wataknya lautan) yang maknanya luas hatinya dan siap menerima keluhan atau menampung beban rakyatnya tanpa perasaan keluh-kesah.
Kelima, hambeging candra (wataknya bulan) yakni selalu memberi pepadhang (penerangan) mepada siapapun saja dan menggambarkan nuansa keindahan religius-spiritual yang mengarah untuk senantiasa ber-musyahadah (mengingat Allah) kepada kebesaran dan keindahan Tuhan. Keenam, hambeging surya (wataknya matahari) yang maknanya memberikan daya, energi, kekuatan atau power kepada orang lain.
Ketujuh, hambeging dahana (wataknya api) yang selalu mampu menyelesaikan masalah dengan adil serta tidak membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lainnya (tan pilih kasih). Kedelapan, hambeging kartika (wataknya bintang); yakni menggambarkan kepribadian, maqam atau posisi, bahkan cita-cita yang tinggi, kokoh dan bersifat tetap seperti bintang yang berada di langit.
Ungkapan menjadi ‘bintang kelas’, misalnya, hal itu diambil dari filosofi hambeging kartika ini. Demikianlah makna dan rahasia kandungan ‘Ilmu Hastha Brata’ yang dimiliki Prabu Rama Wijaya dan Prabu Sri Bathara Kresna yang memudian mengantarkan kepada mereka menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana sehingga bisa mewujudkan kemakmuran bagi rakyatnya dan hidup sejahtera.
Jika ditelaah lebih mendalam, kajian tentang ‘Ilmu Hastha Brata’ di atas sebenarnya menyangkut dua hal. Pertama, keteladanan seorang pemimpin—Prabu Rama Wijaya dan Prabu Sri Bathara Kresna—yang mampu memimpin negara dengan adil dan bijaksana sehingga namanya harum di mata rakyat.
Kedua, dengan meneladani perwatakan delapan alam di atas menyebabkan sang pelaku (pemimpin) secara otomatis masuk ke pendalaman wilayah spiritual-religius. Orang-orang Jawa kuno dulu, jika dikontekstualkan dengan makna kepemimpinan ‘Ilmu Hastha Brata’ di atas, sebenarnya malah sudah canggih dan lebih maju dalam merumuskan soal-soal yang berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan itu sendiri.
Misalnya, mereka mampu menggambarkan tentang nilai-nilai yang baik menyangkut berbagai hal, baik kenegaraan maupun kepemimpinan. Secara umum hal itu identik dengan tujuan negara sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945
Penulis adalah Sastrawan-budayawan dan penulis buku, tinggal di Tulungagung-Jatim