Oleh I Gusti Ketut Widana
Ada dua informasi menarik, menggelitik sekaligus mengusik pada koran Bali Post edisi Selasa 13 Juni dengan judul berita “Petani Bali Belum Bisa Penuhi Biaya Hidup” (hlm 1), dan edisi Kamis, 15 Juni lewat opini “Tanpa Petani Tanpa Masa Depan” (hlm 8). Seperti semakin meyakinkan prediksi bahwa bidang pertanian yang di masa lalu menjadi leading sector kini kian terancam eksistensinya.
Setidaknya ada beberapa penyebab kehidupan agraris dengan sosok petani sebagai pelaku utama kian ditinggalkan, diantaranya : 1) penghasilan relatif sedikit hingga tak mampu bangkit menopang biaya hidup yang kian menjepit, 2) dianggap sebagai profesi tidak bergengsi, 3) berkubang dalam lumpur (kotor), 4) terhimpit pembangunan infrastruktur, 5) keberlangsungan pasokan air kian menipis. Lengkap sudah gambaran “nasib” petani seperti kata pepatah “bagai kerakap di atas batu” : hidup segan mati tak mau.
Jika demikian realitanya, dipastikan karakteristik masyarakat Bali (Hindu) berbasis sosio-agraris-religius, akan terdampak secara signifikan dan simultan. Sebab, hampir semua aspek kehidupan sosial memiliki relasi dengan bidang agraris (pertanian) dan unsur religius (keagamaan), yang terekspresi melalui aktivitas ritual (yadnya). Tak dapat dibayangkan, bagaimana jika lahan pertanian yang adalah sthana Ida Bhatari Sri sebagai dewi kesuburan (kesejahteraan) kian menyempit dan perlahan terjepit. Lalu para petani semakin enggan turun ke sawah lantaran hasil produksinya tak mampu membiayai kebutuhan dasar hidup, apalagi hendak mengangkat harkat dan derajat perekonomian keluarga, makin jauh dari harapan. Sementara kebutuhan hidup standar saat ini dengan beragam tuntutan lainnya terus saja meningkat. Di lain pihak pemerintah juga belum sepenuhnya berada pada posisi pembelaan dan pemulian terhadap profesi petani. Kalaupun ada, masih sebatas live service dengan membuai asa lewat pujian bahwa petani itu profesi mulia dan luhur sejak zaman leluhur, meski faktanya kini terancam lebur lanjut terkubur.
Efek lanjutannya tentu menyentuh sisi religius umat Hindu yang dalam implementasi Tri Kerangka Agama Hindu lebih mengedepankan akivitas ritual (upacara/upakara yadnya) dengan unsur material yang ditopang dunia pertanian dalam arti luas (tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan) dan usaha apapun untuk menghasilkan atau memenuhi kebutuhan pangan manusia. Katakanlah kebutuhan unsur dasar material ritual yadnya sebagaimana disuratkan di dalam kitab suci Bhagawadgita, IX. 26 : “Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan pada-Ku sehelai daun, setangkai bunga, sebiji buah dan seteguh air, persembahan mana dilandasi oleh rasa cinta dari hati yang suci, Aku terima”.
Bisa dibayangkan, jika corak kehidupan agraris ditinggalkan, bisa jadi berakibat pada kian menurunnya daya dukung pertanian terhadap aktivitas religius umat Hindu yang dalam praktiknya nyaris tiada hari tanpa ritual yadnya, lengkap dengan beraneka rupa, bentuk dan jenis kebutuhan material, seperti janur (busung), daun enau (don jaka), daun lontar, bunga, buah, beras, unggas (ayam, bebek beserta telurnya), binatang berkaki empat (babi, sapi, dll), hewan perairan (ikan), dan masih banyak lagi yang kesemua itu hanya diperoleh dari kegiatan atau usaha bidang pertanian.
Jika sampai terjadi penurunan daya dukung produksi pertanian, tak ayal akan berimbas pada terhambatnya pemenuhan kebutuhan material ritual yadnya. Sejauh ini memang ada solusi yang sudah berjalan, diantaranya dengan terus berharap lancarnya pasokan dari luar Bali, selain mulai mencari pengganti seperti janur diganti ibung atau daun lontar. Ada juga cara lebih praktis dan ekonmis, dengan memperkecil ukuran piranti upakara bebanten, semisal sarana berupa ceper, wakul, tamas, lamak, dll.
Bahkan ada juga yang mulai mengurangi frekuensi haturan persembahan, yang biasanya tiap hari rutin menghaturkan canang misalnya, kini hanya saat hari tertentu saja, seperti Kajeng Kliwon, Purnama dan Tilem. Sedangkan untuk hari suci seperti Galungan, Kuningan, Nyepi, termasuk Saraswati, Pagerwesi, Siwaratri dan juga Piodalan serta upacara Panca Yadnya lainnya dapat mengambil tingkatan upakara bebanten sesuai kemampuan (sakasidan) atau mengambil tingkatan kanista (alit).
Ternyata masuk akal, bahwa ketika dunia pertanian (agraris) tidak lagi mampu membiayai hidup sang petani sebagai pelaku utama, akan sangat berimbas pada redupnya intensitas dan kuantitas aktivitas ritual yadnya yang memang tak pernah lepas dari kebutuhan pasokan produksi lahan pertanian dengan berbagai macam unsur materialnya.
Penulis, Dosen UNHI Denpasar