GIANYAR, BALIPOST.com – Wariga Bali sudah umum digunakan masyarakat Bali untuk berbagai aktivitas sehari-hari. Agar tak ditinggalkan penggunaannya, diperlukan alternatif baru dalam memanfaatkan wariga Bali ini agar relevan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satunya, menurut Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud AAGN Ari Dwipayana, menggunakan sistem perhitungan wariga dalam perekrutan calon pegawai sebagai salah satu referensinya. Dengan demikian, wariga dibutuhkan oleh perekrut atau HRD untuk bisa mengetahui karakter orang dari tanggal lahir atau wetonnya. “Rekrutmen PNS di Bali, bila perlu pemilihan Bendesa bisa memakai wariga sebagai salah satu referensi dalam seleksi,” ungkapnya pada Festival Wariga Usadha Siddhi, Jumat (7/7).
Dalam festival ini, Yayasan Puri Kauhan Ubud menyelenggarakan Temu Wirasa para penekun Wariga Bali di Taman Baca Sanggingan Ubud. Temu Wirasa ini menghadirkan tiga narasumber: Made Suatjana, Ida Bagus Budayoga, dan Gede Sutarya dengan dimoderatori oleh I Gusti Agung Paramita.
Ari berharap forum Temu Wirasa ini bisa mendiskusikan perjalanan dan perkembangan Wariga Saka Bali sampai saat ini. Termasuk mengeksplorasi isu strategis dan membicarakan tantangan yang dihadapi.
Sekaligus memberikan solusi terkait sistem perhitungan wariga Saka Bali ditengah berbagai dinamikanya. Terutama kehadiran teknologi yang sangat memungkinkan bisa diterapkan dalam perhitungan kalender Bali. “Karena memang perhitungan kalender Bali itu matematis dan sistematis, sehingga membuka ruang bagi teknologi dalam perhitungannya,” jelas pria yang akrab disapa Gung Ari ini dalam rilisnya.
Selain itu Ari juga menyinggung soal dampak climate change pada pranatamangsa dan juga perlu dibahas ketepatan pengalantaka yang sudah menjadi diskusi panjang diantara para ahli wariga.
Praktisi wariga, Gede Sutarya mengungkapkan orang-orang terdahulu melakukan perhitungan waktu untuk kebutuhan kegiatan pertanian. Namun seiring berjalannya waktu mulai terjadi pergeseran di masyarakat.
Ketika orang zaman dulu menentukan hari baik untuk perayaan saat musim panen. Tujuannya agar saat perayaan, orang-orang punya cukup bahan makanan. Namun kini sudah berubah, tidak lagi melihat masa panen.
“Jadi mengapa hari besar itu jatuh saat musim panen, saat orang punya stok pangan yang melimpah. Karena perayaan identik dengan pesta,” ungkap dosen UHN Sugriwa ini.
Senada dengan itu, Ida Bagus Budayoga, penentuan hari baik untuk pertanian itu ditandai dengan kemunculan bintang Kartika di ufuk timur. “Karena dasarnya pertanian, maka ada sebuah kepercayaan di suku-suku, kemunculan bintang Kartika di Sasih Kasa menjadi bulan baru dan pertanda baik bagi pertanian,” jelasnya.
Hanya saja pergeseran budaya agraris ke industri, membuat penentuan hari baik upacara tidak lagi di musim panen. “Sekarang kalaupun upacara tidak dilakukan di musim yang tepat tidak masalah, karena beras sudah beli. Tidak lagi menunggu panen,” terangnya.
Gede Sutarya berharap ke depan ada pembahasan lebih lanjut terkait perhitungan kalender Bali. “Rembugnya diperluas, tidak hanya dari kalangan Sulinggih, tapi libatkan juga Kelian Subak karena mereka tahu kapan terbitnya bintang Kartika itu. Sehingga suatu saat, kalau banyak tidak tepatnya, kita harus ubah,” ujarnya.
Made Suatjana pembicara lainnya menjelaskan, kalender Bali terdiri dari sistem perhitungan waktu yang sistematis, matematis dan astronomis. Bukan mitos, bukan mistis. “Sebaiknya digali kembali nilai matematis kalender Bali sehingga memberi kepercayaan lebih tinggi pada kalender yang kita miliki,” sarannya. (kmb/balipost)