I Gst. Ag. Kt. Sudaratmaja. (BP/Istimewa)

Oleh I Gst. Ag. Kt. Sudaratmaja

Dalam diskusi di kalangan Tim Perumus dan Evaluasi Kebijakan, Badan Riset dan Inovasi Daerah (Brida) Kabupaten Badung, muncul kekhawatiran terhadap eksistensi sektor pertanian khususnya di Kabupaten Badung. Sangat ironis jika kita membiarkan sektor ini berjalan seperti sekarang di tengah isu krisis pangan global, sementara kita menggantungkan hidup padanya.

Dalam keterhimpitannya dari sektor lain terutama sektor pariwisata, maka wajar sektor pertanian tidak menjadi sektor basis di Kabupaten Badung. Dia dikalahkan oleh beberapa sektor jasa/industri sebagai dampak berkembangnya sektor pariwisata. Di lain pihak sektor pertanian terbukti dalam beberapa krisis ekonomi mampu tetap tumbuh positif sementara sektor lain dalam posisi tiarap.

Mencermati posisi sektor pertanian seperti itu, timbul pemikiran untuk memberikan apresiasi dalam bentuk insentif kepada petani dan Subak di Kabupaten Badung. Hal ini sekaligus merespon keinginan pimpinan daerah (Bapak Bupati) yang dalam beberapa kesempatan sering menyebut hal ini dalam kunjungan ke masyarakat.

Lahan pertanian bukan hanya sebagai penghasil pangan, papan dan sandang tetapi juga memiliki fungsi lain yang belum banyak diketahui orang. Multi fungsi lahan pertanian selain fungsi primer sebagai basis produksi ada juga fungsi sekunder yaitu : (a) fungsi ekologi seperti pengendali banjir, erosi, penyedia air tanah, pengatur tata udara, siklus bahan organik, keanekaragaman hayati, fiew/keindahan dan (b) penjaga tradiisi, adat, budaya dan lingkungan pedesaan. Fungsi sekunder ini sering disebut sebagai pemberi jasa lingkungan yang dinikmati oleh umum (public goods) secara gratis dan tidak disadari oleh petani. Bahkan untuk di Bali jasa lingkungan berupa fiew/keindahan alam, tradisi, adat dan budaya yang ada sering ‘’dicuri’’ dan dinakmati sendiri oleh sektor pariwisata.

Baca juga:  Tanah dan Penguatan Identitas Budaya Masyarakat Bali

Rencana pemberian insentif bagi petani di Badung dilakukan berbasis kawasan Subak, karena memiliki data base yang relatif kuat. Untuk saat ini sudah ada beberapa Subak yang dilabatkan dalam pengadaan gabah sebagai bahan baku beras sehat untuk ASN, P3K dan Tenaga Kontrak di Kabupaten Badung. Program ini dilaksanakan oleh PD.

Pasar Giri Mangu Sedana, bekerja sama dengan beberapa Penyosohan Beras di Kabupaten Badung. Dengan demikian petani mendapatkan kepastian pasar dan harga untuk gabahnya, di sisi lain ASN, P3K dan Tenaga Kontrak mendapatkan beras sehat yang terjamin mutunya.

Baca juga:  Mengalami Kebhinekaan

Pemberian insentif bagi Subak dengan optimalisasi peran lahan sawah sebagai faktor produksi primer seperti contoh di atas adalah hal yang biasa. Ke depan kiranya perlu juga memperhatikan peranan lahan pertanian sawah dalam perspektif fungsi sekunder.

Fungsi sekunder tersebut, seperti disebutkan di depan berkaitan dengan fungsi lingkungan dan fungsi pelestari budaya, tradisi, kehidupan pedesaan dan keindahan bentang alam yang dimiliki. Sektor pariwisata telah melihat dan berhasil mengkapitalisasi nilai faktor sekunder lahan pertanian ini menjadi nilai ekonomi, namun sayang masih banyak yang dinakmati sendiri dan hampir tidak ada kontribusinya untuk petani.

Kabupaten Badung memiliki 116 Subak Sawah yang sebagian besar masuk pada kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), sesuai Peraturan Bupati Badung No.382/048/HK/2022. Dengan pendekatan model ‘’Subak Lestari’’ dapat dicermati jika ada Subak yang konsisten dapat mempertahan diri tanpa alih fungsi lahan, dan juga tetap dapat mempertahankan adat, tradisi dan budayanya, kiranya dapat diberikan insentif oleh Pemda Kabupaten Badung.

Penghargaan dalam bentuk insentif tersebut sangat wajar diberikan, mengingat tantangan alih fungsi lahan sebagai akibat perkembangan pariwisata sangatlah kuat. Lantas timbul pertanyan, bagai mana cara menghitung besaran pemberian insentif bagi Subak Lestari tersebut? Dengan pendekatan Replease Cost Method (RCM), di mana nilai variabel fungsi lingkungan lahan sawah dapat dihitung yang besarannya didapat sekitar Rp5.202.000/Hektar (Fahmuddin dan Edi, 2005). Jika luas suatu Subak Lestari misalnya 100 Hektar, maka Subak tersebut berhak menerima insentif sekitar Rp520.200.000. Jumlah ini tentu akan bisa menjadi lebih besar mengingat perhitungannya dilakukan tahun 2005, dan belum memasukkan variabel tradisi, adat dan budaya yang ada di dalamnya.

Baca juga:  Murahkah Biaya Hidup di Bali?

Tidak berkelebihan kiranya pemberian insentif untuk model Subak Lestari ini dapat mulai dirintis di Kabupaten Badung, diawali dengan model percontohan misalnya lima Subak untuk tiap Kecamatan, mengingat Subak adalah benteng budaya selain Desa Adat. Hal ini sangat sejalan dengan penjabaran Visi Kabupaten Badung yang sangat konsen terhadap pelestarian adat, agama, tradisi dan budaya sebagai daerah pariwisata. Dengan demikian akan terlihat adanya subsidi silang sektor pariwisata terhadap sektor pertanian dalam bentuk pelestarian lahan pertanian (Subak) di Kabupaten Badung.

Penulis, Tim Perumus dan Evaluasi Kebijakan Brida Kabupaten Badung

BAGIKAN