Oleh Kadek Suartaya
Belakangan, atmosfer pemilu 2024 terasa menghangat. Kontestasi partai politik Tanah Air tasuartaympak mulai menggeliat. Fibrasi akan pesta demokrasi itu berpendar ke penjuru sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia.
Jagat seni, biasanya, sering dilibatkan dalam ingar-bingar momentum itu. Telah tertoreh dalam ingatan dan catatan, rangkaian kegiatan sekitar seru-deru dunia politik di Pulau Bali, juga menghadirkan kiprah kesenian.
Sejumlah seni pertunjukan Bali yang dianggap punya pontensi dapat menarik atau mempengaruhi massa, didaulat menjadi corong partai, baik dalam posisi sebagai simpatisan maupun tampil secara profesional alias bayaran. Bahkan, keunikan dan daya pukau kesenian Bali, juga tak jarang diadopsi dalam ruang nuansa politik nasional dan internasional.
Presiden pertama RI, Soekarno, telah berkali-kali mengusungnya, di masa lalu. Berkaitan dengan puncak Bulan Bung Karno 2023 yang digelar oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada 24 Juni lalu, seni pertunjukan Bali, Kecak dan Janger, dieksplorasi dalam format seni pentas kolosal di stadion Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta.
Disebut, tak kurang dari 3.000 orang yang semuanya wanita membawakan pagelaran seni yang digarap oleh Guruh Soekarno Putra, seniman senior yang tak lain dari adik Ketua PDIP, Megawati Soekarno Putri. Dikibarkan dengan tajuk garapan “Kecak Janger”, ribuan pemain yang didominasi busana warna merah itu berdendang riang dan menari lincah mengisi ruang yang luas dalam tata komposisi koreografi rapi apik.
Kecipak vokal cak cak cak didegupkan, koor lagu yang kental dengan melodi gending Janger, distylir melantunkan kenusantaraan. Sejatinya, keberadaan Kecak dan Janger di tengah masyarakat Bali, bukan merupakan ekspresi seni yang berapliansi pada ideologi dunia politik.
Keduanya berembrio dari ritus spiritual religius. Syahdan, seorang penari Baris masyur pada zamannya bernama I Limbak bekerja sama dengan seorang pelukis asal Jerman yang berdomisili di Ubud, Walter Spies, berinteraksi seni mengembangkan bagian iringan Sanghyang, menjadi seni pertunjukan tersendiri yang kemudian dipertontonkan kepada para wisatawan.
Koor iringan berupa jalinan vokal berlapis itu kini dikenal
dengan tari Cak. Dibawakan oleh puluhan pria bertelanjang dada, Cak masyur di mancanegara bak jadi ikon Bali.
Sedangkan kemunculan Janger tak lama setelah Cak, yaitu tahun 1940-an. Elemen utama Janger juga bersumber dari Sanghyang. Lagu-lagu yang dikumandangkan Janger, didominasi dari gending-gending Sanghyang yang ditransformasikan dalam ungkapan sederhana dengan lirik-lirik yang menuturkan konteks situasi dan keadaan lingkungan lokal.
Era kemerdekaan, pascatahun 1945, berpengaruh signifikan pada binar kehidupan kesenian, termasuk Cak dan Janger. Selain Cak Bedulu yang dipimpin Limbak, Cak turistik juga mengepak di Bona, Blahbatuh. Tahun 1950-an, Cak Bona yang mengangkat cerita Ramayana, semakin deras disimak pelancong asing.
Bahkan sepanjang tahun 1955-1957, tokoh-tokoh Cak
Bone diundang ke punjuru Bali seperti Badung, Tabanan, dan Klungkung untuk melatih Cak turistik. Sebelumnya, pada perayaan proklamasi kemerdekan RI ke-13 tahun 1958, Cak sempat diboyong ke Jakarta oleh Bung Karno. Tiga orang seniman Cak Bona, Nengah Mudarya, Gusti Wates, dan Wayan Manis diundang ke Ibu Kota
melatih 1.300 orang wanita sebagai penari Cak.
Sukses menggelar Cak penari wanita, mendorong semangat presiden yang beribu wanita Bali itu, untuk menggelarnya kembali pada pembukaan Games of the New Emerging Forces (Ganefo) tahun 1962–merupakan salah satu peristiwa di mana Indonesia berani menentang hegemoni Barat melalui olahraga. Melalui pengemukaan peran Bung Karno yang membanggakan Cak ke tarap nasional dan internasional tersebut, dapat
dipahami bahwa sang proklamator adalah pengayom seni sejati yang juga sekaligus politikus yang jeli mengerek harga diri bangsanya melalui keindahan seni.
Sementara itu, kegandrungan Bung Karno pada Tari Janger juga menabur gairah dan mendeburkan buncah seni pertunjukan ini di tengah masyarakat Bali. Gemuruh Janger begitu fenomenal pada dekade di bawah tahun 1965.
Pementasan Tari Janger dapat disaksikan di mana-mana. Persaingan sengit partai politik ketika itu, menggiring dan menjerumuskan Janger menepikan aspek seninya, sebaliknya bergirang kebablasan mengumandangkan jargon-jargon partai. Sebuah pementasan Janger milik Partai Nasional Indonesia (PNI) dan juga pagelaran Janger peliharaan Partai Komunis Indonesia (PKI), selalu menampilkan konfigurasi huruf “PNI” atau “PKI” melalui pengaturan posisi para penarinya.
Kebanalan dan kevulgaran Janger sebagai tunggangan partai ini tak linier dengan respek dan apresiasi Bung Karno terhadap jagat seni seperti yang telah diladani oleh Dalem Waturenggong pada abad ke-16 dan era keemasan kerajaan Bali setelahnya.
Penulis, pemerhati seni budaya, dosen ISI Denpasar