Tangkapan layar acara peluncuran laporan Arthur D. Little (ADL) bertajuk "Unleashing Indonesia’s Electric Mobility Potential" yang dipantau secara daring dari Denpasar, Selasa (1/8). (BP/iah)

DENPASAR, BALIPOST.com – Potensi pengembangan industri electric vehicle (EV) di Indonesia sangat besar. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk yang bisa dijadikan pasar potensial maupun sumber daya alam yang dimiliki untuk menunjang industri ini berkembang. Demikian mengemuka dalam acara peluncuran laporan Arthur D. Little (ADL) bertajuk “Unleashing Indonesia’s Electric Mobility Potential” yang dipantau secara daring dari Denpasar, Selasa (1/8).

Menurut Andreas Schlosser, Partner dan Global Head of Arthur D. Little’s Automotive Practice, Indonesia merupakan salah satu pasar yang sedang berkembang (emerging market) untuk EV. Indonesia memperoleh skor 43 dari 100 untuk kesiapan Battery Electric Vehicle (BEV). Hal ini sejalan dengan negara-negara, seperti Uni Emirat Arab dan Thailand.

Kondisi di Indonesia ini tertinggal dibandingkan Singapura, China, dan Jerman yang masuk kategori pasar yang lebih maju dalam EV. “Untuk benchmarknya adalah Norwegia yang memperoleh skor di atas 100,” paparnya.

Demi mempercepat adopsi kendaraan listrik, sebut Schlosser, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya untuk mengembangkan rantai pasokan kendaraan listrik end-to-end sejak 2013. Sampai dengan 2030, Kementerian Perindustrian telah menetapkan target produksi sebanyak 600,000 kendaraan listrik roda empat dan 2,45 juta kendaraan listrik roda dua.

Baca juga:  Pemerintah Diminta Serius Tangani Aksi Teror

Target yang ambisius ini juga merupakan hasil dari Indonesia Battery Corporation (IBC) yang berencana membangun pabrik baterai dengan kapasitas awal sebesar 10-15 GWh, yang diharapkan dapat digenjot hingga 20 GWh. “Berdasarkan hasil analisis ADL, Indonesia membutuhkan produksi minimal 340.000 kendaraan listrik (56% dari target semula 600.000) untuk memenuhi kapasitas 15 GWh dari permintaan domestik,” ujarnya.

Untuk mendukung target tersebut, sejauh ini pemerintah Indonesia telah menawarkan berbagai insentif, seperti pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pembebasan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), insentif bea masuk atas importasi Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) berbasis baterai, insentif pajak terkait Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), keringanan biaya pengisian listrik di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Namun, terlepas dari pendekatan komprehensif dan berbagai langkah yang ditawarkan oleh pemerintah melalui dorongan regulasi, tingkat adopsi EV di Tanah Air masih rendah karena berbagai tantangan mendasar.

Disebutkannya ada lima tantangan mendasar terhadap peralihan Indonesia menuju mobilitas listrik, salah satunya ketergantungan yang kuat pada produksi Original Equipment Manufacturer (OEM) otomotif yang terbatas. Selain itu, Indonesia juga memiliki keterbatasan pengembangan infrastruktur pengisian daya, pemrosesan nikel yang kurang berkembang, Baterai Lithium Ferro Phosphate sebagai ancaman bagi keberadaan Nickel Manganese
Cobalt, dan keseimbangan antara keterkaitan regional dan prioritas nasional.

Baca juga:  Simulasi Elektabilitas Capres 2024, Tiga Tokoh Ini Unggul

Untuk mengatasi tantangan itu, Akshay Prasad, Manager Arthur D. Little di Asia Tenggara, menyarankan Indonesia mulai melirik daya tarik OEM baru dari India, Tiongkok, serta pemain lokal yang lebih fokus pada pengembangan kendaraan listrik, daripada hanya mengandalkan merek dominan saat ini yang sebagian besar berfokus pada ICE (Internal Combustion Engine). “Strategi ini memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk mempertimbangkan pengembangan OEM lokal yang selama ini masih kurang. Dengan mempromosikan produksi mobil listrik lokal secara strategis melalui insentif yang ditargetkan, seperti pembebasan bea masuk untuk komponen tertentu dan penetapan batas minimum yang lebih tinggi untuk investasi, dapat mendorong masuknya pemain utama dan menandakan pasar yang lebih berkembang,” tambah Prasad.

Terlepas dari tantangan di atas, ia percaya bahwa Indonesia berada dalam posisi yang tepat untuk berkembang menjadi pusat mobilitas listrik secara global, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Untuk mencapai target kendaraan listrik yang ambisius, yaitu
memprioritaskan penargetan OEM baru dengan penekanan lebih besar pada BEV,  memperluas cakupan insentif untuk penyediaan infrastruktur stasiun pengisian kendaraan listrik, memulai kerja sama dan dukungan regional, membangun kapabilitas baru di luar NMC, dan mendorong produksi lokal secara strategis.

Baca juga:  Perusahaan dan UMKM Diharapkan Jalankan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

Ditambahkan Hirotaka Uchida, Partner Arthur D. Little dan Head of Automotive and Manufacturing practice di Asia Tenggara, melihat potensi penduduknya, Indonesia punya peluang dalam mengembangkan industri EV ini. Bahkan dia menyarankan untuk pengembangan brand lokal yang akan lebih menekan ongkos produksi dan harga jual EV. Bukan tidak mungkin pula, merek lokal itu bisa diekspor.

Pengembangan potensi lokal yang ditunjang dengan pasar yang besar untuk EV ini telah sukses dilakukan sejumlah negara. Misalnya saja, China dan Amerika Serikat. Kesuksesan ini bisa diadopsi Indonesia dalam upaya mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fossil dan mengurangi dampak lingkungan yang disebabkan oleh emisi polusi udara dari transportasi jalan, khususnya yang terjadi beberapa kota besar. (Diah Dewi/balipost)

BAGIKAN