DENPASAR, BALIPOST.com – Sosok almarhum Umbu Landu Paranggi selalu menarik diperbincangkan. Dia adalah inspirator, motivator, dan guru yang melahirkan bibit-bibit sastrawan muda.
Tak jarang, pembicaraan tentang Umbu dibumbui mitos dan kisah-kisah misterius. Sebaliknya, karya-karya puisi Umbu malah jarang dibicarakan.
Dengan terbitnya buku Melodia (Kumpulan Puisi 1959—2019), pembicaraan tentang mitos-mitos Umbu makin dikurangi dan lebih diarahkan pada pembahasan karya-karya puisinya dan pencapaiannya. Buku ini merupakan jejak kepenyairan Umbu yang semasa hidupnya belum memiliku buku kumpulan puisi tunggal yang menghimpun sajak-sajaknya.
Peluncuran dan diskusi buku Melodia (Kumpulan Puisi 1959—2019) karya Umbu Landu Paranggi digelar Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP), Selasa (15/8) di aula ITB Stikom Bali di Renon, Denpasar. Kegiatan ini merupakan bagian dari Festival Umbu Landu Paranggi yang digelar sejak 6 Agustus 2023 lalu dan akan berakhir 20 Agustus 2023 mendatang.
Diskusi menghadirkan narasumber penyusun buku, I Wayan Jengki Sunarta dan akademisi sastra dari Universitas PGRI Mahadewa Indonesia, I Made Sujaya. Menurut Sujaya, pada mulanya dan hingga akhir hayatnya Umbu merupakan seorang penyair.
Legitimasi kepenyairannya didapat melalui usaha kerasnya menembus arena sastra Indonesia pada tahun 1960-an. Sajak-sajaknya dimuat di berbagai surat kabar, majalah, maupun jurnal.
“Cerita dari kawan-kawannya atau “murid-muridnya,” Umbu memiliki sejumlah manuskrip, tetapi hingga kini tak satu pun ditemukan. Karena itu, penerbitan buku Melodia yang menghimpun 101 sajak Umbu ini tak hanya menjadi sejarah penting bagi jejak kepenyairan Umbu dan puisi Indonesia, tetapi juga menjadi titik tolak untuk membicarakan Umbu sebagai penyair, tak lagi sekadar mitos dan kisah-kisah misterius,” kata Sujaya.
Hanya memang, imbuh Sujaya, membicarakan sajak-sajak Umbu akan sangat sulit memisahkan dari sosoknya. Pasalnya, sajak-sajak Umbu umumnya menggambarkan perjalanan dirinya mencecap keindahan puisi yang dalam tradisi kesusastraan di Bali disebut dengan ungkapan alanglang kalangwan.
“Dalam kasus sajak-sajak Umbu, pengarangnya tak bisa dipisahkan. Tapi, dengan bertitik tolak pada karya, berpijak pada sajak, pembicaraan tentang Umbu menjadi berbasis pada teks, sehingga lebih mendekati objektivitas,” jelas Sujaya.
Dosen sastra Indonesia dari Undiksha Singaraja, I Made Astika juga sependapat dengan Sujaya bahwa dengan terbitnya Melodia maka tak ada lagi mitos tentang Umbu. Buku ini menegaskan Umbu sebagai penyair dengan karya-karyanya yang pantas untuk diapresiasi.
Hal senada juga disampaikan Warih Wisatsana. Menurut Warih, Melodia telah membebaskan Umbu dari mitos-mitos yang sesungguhnya juga membuat Umbu tidak nyaman. Warih menyebut mitos-mitos itu justru memenjarakan Umbu, membuatnya berjarak dengan realitas yang sesungguhnya.
Padahal, Umbu sejatinya juga manusia biasa yang punya sisi-sisi humanis seperti kita.
Jengki Sunarta yang menyusun buku Melodia menjelaskan Umbu sempat mengungkapkan keinginannya untuk memiliki antologi puisi tunggal. Keinginan ini beberapa kali disampaikan saat ngampung seni di Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP).
Namun, hingga dia berpulang, keinginan itu tak terwujud. Karena itu, sebagai bentuk penghormatan kepada Umbu yang dianggapnya sebagai mahaguru, pada tahun 2022, Jengki menginisiasi penyusunan buku kumpulan puisi tunggal Umbu.
Sejak tahun 2014, Jengki sudah mengumpulkan sajak-sajak Umbu. Walaupun sudah terkumpul 101 sajak, ia yakin masih ada sajak-sajak Umbu yang belum ditemukan. (kmb/balipost)