DENPASAR, BALIPOST.com – Rencana Pemerintah Provinsi Bali di bawah pimpinan Gubernur Wayan Koster agar Bali swasembada pangan dan tidak ketergantungan dengan bahan pangan dari impor diapresiasi komponen masyarakat Bali. Alasan Gubernur Koster selama ini uang daerah dan negara dibawa lari ke luar negeri, mengapa tidak petani kita diberdayakan.
Penegasan itu diungkapkan Gubernur Koster saat menyampaikan pidato Pencapaian Kinerja 5 Tahun Tatanan Bali Era Baru dalam Sidang Paripurna Istimewa DPRD Provinsi Bali pada Peringatan Hari Jadi Ke-65 Provinsi Bali di Ruang Sidang Utama DPRD Provinsi Bali, Senin (14/8).
Program mengembangkan bawang putih diapresiasi kalangan akademisi. Pasalnya beberapa aspek memenuhi untuk dikembangkan bawang putih di Bali. Peneliti senior dalam bidang hortikultura dari Universitas Udayana Prof. Dr. Ir. I Nyoman Rai, M.S., Senin (21/8) mengatakan, dulu Bali memiliki banyak lahan yang cocok untuk dikembangkan sentra bawang putih. Bawang putih membutuhkan agroklimat yang agak dingin (sejuk), relatif di dataran tinggi. Dengan kondisi geografis antara laut dan gunung yang sangat dekat menurutnya sangat cocok dikembangkan bawang putih.
“Dari segi agroklimat, banyak tempat untuk itu,” ujar Rai yang pernah meneliti tentang ketahanan bawang putih di lahan kering ini. Dari sisi kebutuhan Bali, kata dia, sangat tinggi. Tidak hanya untuk konsumsi lokal tapi juga untuk wisatawan sampai 6 juta per tahun. “Dari dua aspek itu, wacana ini cocok. Jadi Pak Gubernur tidak mengada–ada,” tandasnya.
Meski demikian, ada tantangan besar yang harus dihadapi dalam membudidayakan bawang putih. Bawang putih lokal yang ada saat ini memiliki umbi berukuran kecil, walaupun secara kualitas bawang putih dengan ukuran kecil memiliki kandungan allicin yang tinggi.
Allicin adalah komponen sulfur bioaktif utama yang terkandung dalam bawang putih. Bawang putih (Allium sativum) mempunyai kemampuan sebagai antibakteri baik pada bakteri gram positif, gram negatif dan bakteri penghasil asam.
“Dari sisi tampilan tidak menarik bagi ibu rumah tangga sehingga mudah mengupas, dengan umbi besar mudah diolah. Jadi tantangannya adalah mencari jenis bawang putih yang umbinya besar–besar, tetapi kualitasnya bagus, tidak hambar,” imbuhnya.
Tantangan lainnya adalah petani sendiri. Mengingat petani sudah lama tidak berbudi daya bawang putih sehingga budaya bertanam bawang putih harus dibangunkan. “Bagaimana good agriculture practices (GAP) bawang putih harus dilakukan dengan baik oleh para pemegang kebijakan. Begitu program dijalankan, harus dilakukan penyuluhan secara intensif, disiapkan SOP budidaya sehat bawang putih dan dijelaskan kepada mereka supaya betul–betul memahami,” ujarnya.
Setelah penyuluhan dan proses penanaman berhasil, pasar juga harus disiapkan. Pemerintah harus mencarikan saluran pemasarannya. “Tantangan besarnya yaitu jenis atau varietas yang akan dikembangkan, dicari jenis atau varietas yang besar mirip bawang putih impor, kesiapan petani untuk budidaya bawang putih skala besar harus dituntun, harus diberikan semacam pemahaman, penyuluhan yang baik, dengan disediakan SOP dan GAP sehingga petani tidak kelabakan,” bebernya.
Petani juga harus didampingi misalnya bekerjasama dengan perguruan tinggi baik pendampingan untuk penanaman maupun pemasaran. “Kita harus pelajari bawang putih yang akan dikembangkan bibitnya jenis apa, syarat tumbuh yang dikehendaki harus dipenuhi, suhunya berapa, intensitas sinar berapa, pengairannya bagaimana, kelembabannya berapa, dll. Kita harus carikan tempat atau lokasi yang paling mendekati syarat tumbuh suatu varietas,” ujarnya menjawab keraguan atas kegagalan budi daya bawang putih di Buleleng.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, produksi bawang putih di Bali terus menurun sejak tahun 2019. Yaitu dari 1.563 ton pada tahun 2019 turun menjadi 1.329 ton pada 2020, dan turun kembali menjadi 1.040 ton pada 2021. Hanya ada tiga kabupaten di Bali yang menghasilkan bawang putih yaitu Tabanan, Bangli, dan Buleleng.
Akademisi dari Undiknas Prof. IB. Raka Suardana mengatakan, salah satu prioritas dari implementasi Ekonomi Kerthi Bali adalah pertanian. Maka dari itu, produk pertanian yang menjadi kebutuhan strategis yang harus dipenuhi. Mengingat selama ini Bali impor bawang putih maka komoditi ini perlu dikembangkan, karena memang Bali kekurangan.
Jika rencana pengembangan ini berhasil, maka Bali tidak akan bergantung dari luar. Selain itu, pengembangan produksi bawang putih juga harus diikuti dengan penyerapan pasar yang baik.
Mengingat bawang putih yang selama ini dikembangkan tidak diminati pasar, maka hendaknya varietas yang dikembangkan sesuai dengan minat pasar agar petani tak rugi. Stabilitas harga juga agar tetap menjadi fokus pengawasan ketika telah dikembangkan agar petani tetap tertarik menanam dan masyarakat secara harga mampu membeli. (kmb/balipost)