Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Seperti fenomena gunung es, gejala terjadinya pelemahan karakter “anak Bali” tak dapat dimungkiri kian terkuak, menyeruak dan merebak, terekspresi melalui perilaku sosial yang semakin terjebak pada gaya hidup hedon. Menurut Collin Gem, hedonisme adalah sebuah doktrin yang menganggap kesenangan sebagai hal paling penting dalam hidup.

Istilah Hedonisme berasal dari bahasa Yunani “Hedone” – Sang Dewi Kenikmatan dan kegembiraan yang kemudian menjadi label gaya hidup berorientasi kesenangan. Pengertian hedonisme adalah gaya hidup yang berfokus mencari kesenangan dan kepuasan tanpa batas.

Hedonisme memandang bahwa kesenangan itu berada di atas manfaat atau kebutuhan. Intinya mementingkan kesenangan ketimbang kebutuhan, berusaha menghindari hal-hal menyusahkan atau menyakitkan dengan memaksimalkan perasaan-perasaan menyenangkan.

Sejatinya hedonisme berpangkal dari gayanhidup konsumerisme dan materialisme, di mana ketiganya dapat berjalan beriringan. Orang-orang yang menganggap bahwa hidup ini hanya untuk kenikmatan saja (hedonis), cenderung akan mencari-cari barang yang dapat memuaskan dirinya (materialis) melalui perilaku konsumerisme.

Baca juga:  Kompetensi Pedagogik, Acuan Guru yang Baik?

Sebenarnya gaya hidup hedon ini ada sisi positifnya, setidaknya mengajak seseorang untuk menikmati kehidupan dengan kesenangan atau kebahagiaan, meski mungkin keadaannya memang serba susah dan banyak masalah. Bisa dikatakan sebagai sublimasi atau
pelepasan/pengalihan atas perasaan sedih atas derita kesusahan yang dialami, sehingga menjadi lebih senang atau bahagia.

Hanya saja, ketika kesenangan menjadi target utama, dapat memantik adrenalin untuk memburu objek-objek pemberi kesenangan. Sehingga ada kekhawatiran terjerumus, terjebak lalu terpuruk pada kenikmatan belaka dengan mengabaikan keluhuran etika moral.
Itulah yang kini sedang memfenomena, maraknya gaya hidup hedon “anak Bali cara jani”. Tidak lagi telunjuk jari menunjuk kalangan dewasa, setingkat anak (SD-SMA) pun seperti sudah tertular dan faktanya mengular
manakala mengadakan kegiatan kumpul-kumpul yang lebih populer disebut “nongkrong”.

Tak pandang lagi dalam konteks acara apa, entah itu formal, nonformal bahkan momen ritual sekalipun kini sudah kian lumrah, dianggap sah tak boleh dikatakan salah meski adakalanya memancing masalah, yaitu merebaknya gaya hidup hedonis. Mulai dari opening
hingga finishing tak pernah lepas dari suasana having fun – bersenang-senang.

Baca juga:  Kepemimpinan Wanita Menyongsong Indonesia Emas 2045

Menjelma menjadi semacam ritual kebahagiaan – happiness rituals. Mengutip pandangan Gandhi: “dari
pikiran melahirkan perkataan, dari perkataan mendorong perbuatan, dari perbuatan menunjukkan kebiasaan dan dari kebiasaan itulah seseorang menampilkan karakter”, apakah berkecenderungan daiwi sampat (kedewataan) atau asuri sampat (keraksasaan).

Dikaitkan dengan fenomena hedon anak Bali kekinian,
jelas mengarah pada kian tumbuh menguatnya karakter asuri sampat – sifat-sifat keraksasaan. Realita kehidupan sosial adat dan keagamaan anak Bali telah dengan nyata bahkan tak jarang vulgar mempertontonkan perilaku hedon. Fakta real dapat disebut yang hampir bisa ditemukan di banyak tempat, yaitu di mana ada kumpulan anak Bali (meski anak luar adakalanya ikut), seperti sudah menjadi wajib hukumnya disertai acara “seminar” (sekaa minum tuak dan arak).

Satu kasus teranyar terjadi di Peguyangan, zekelompok warga mengadakan pesta miras hingga mabuk dan membuat kebisingan berbuntut pelaporan ke pihak polisi banjar (BP, 22/8). Acara “seminar” seperti itu seringkali diikuti kalangan anak-anak, remaja, dewasa hingga kaum tua.

Baca juga:  Membangun Ekonomi Bali Utara

Seolah ada semacam proses pembelajaran/pewarisan” karakter hedon agar tetap ajeg, hingga kemudian menjadi semacam tipikal atau stereotipe karaktersitik (sebagian) anak Bali yang memang suka bersenang-senang, hura-hura bahkan tak jarang berujung huru-
hara.

Lebih ironi lagi dalam konteks aktivitas religi yang sejatinya berbasis dan berorientasi kesucian juga turut dilumuri praktik-praktif hedoni dengan segala bentuknya, baik dari unsur konsumsi (makanan dan minuman) bertendensi tantrik (pancama), tambahan kegiatan di luar bhakti berupa arena judi (tajen, ceki, dll), dan kadang suguhan atraksi seni bergenre pornoaksi
(joged ngebor).

Lengkap sudah fenomena hedon menjadi bagian dari karakteristik anak Bali, yang jika tak ada kuasa mereduksi atau mengeliminasi akan menjadi pertanda terjadinya degradasi etika moral yang suatu saat nanti
berujung pada kerapuhan dan keruntuhan pilar
penyangga kehidupan sosialistis religius.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN