DENPASAR, BALIPOST.com – Penyakit kusta masih dianggap stigma di masyarakat. Karena kusta masih dianggap penyakit kutukan. Akibatnya penderita merasa malu untuk berobat apalagi terdata sebagai penderita kusta. Hal ini juga menyebabkan data kusta seperti fenomena gunung es. Artinya masih banyak masyarakat yang belum terdata.
Dokter Spesialis Penyakit Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah, Dr.dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK., menjelaskan, di negara maju pengidap kusta menurun drastis karena minum obat. Namun di Indonesia, kasusnya tersembunyi karena penderitanya tidak melaporkan diri dan berobat sendiri. “Karena mereka malu. sehingga Indonesia terus menjadi negara ketiga terbesar di dunia dari sisi jumlahnya kasusnya, setelah India dan Brazil,” ungkapnya.
Di Indonesia, kasus kusta tertinggi ada di Jawa Timur. Sementara Bali endemisnya rendah dengan presentase 0,5 per mil. “Rendah sekali. Tapi pencatatan itu tidak sesuai karena kusta ini seperti fenomena gunung es,” ungkapnya.
Pencatatan yang dinilai tidak sesuai karena pihaknya di RSUP Sanglah menemukan 76 kasus baru setiap tahunnya. Dari 76 kasus itu pun dari berbagai suku. Karena ada yang menggunakan KTP Jawa Timur, namun berobat ke Bali. Begitu juga dari Sulawesi berobat ke Bali. Karena mereka malu jika diketahui menderita kusta di wilayahnya.
Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali diambil dari data seluruh rumah sakit di Bali. “Karena dulu setiap wilayah ditarget supaya kusta itu 1/10.000 sesuai dengan WHO, supaya turun pencapaiannya. Sekarang kita tidak bisa mencapai itu. Sedangkan negara lain bisa,” ungkapnya.
Dengan adanya penderita kusta yang tersembunyi menyembabkan obat tidak terjangkau seluruhnya. Padahal obat gratis dari WHO, pemeriksaan gratis. Namun Indonesia belum mampu menurunkan kasus kusta. Jika saja pengetahuan masyarakat Indonesia lebih bagus, bisa saja Indonesia terbebas dari kasus kusta.
Kusta merupakan penyakit tua, kuno tapi masih aktif di jaman sekarang. Kusta tidak hanya penyakit yang berada di wilayah tropis, namun juga terjadi di wilayah beriklim dingin. Contohnya Skandinavia dulu pernah menduduki peringkat tertinggi kasus kusta. Namun sekarang kasusnya nol.
“Karena itu negaranya kecil, pencatatannya bagus. Negara kita besar, mobilitas kita tinggi. Dulu yang paling endemis itu Sulawesi. Oleh karena petugas kesehatannya konsen disitu, pencatatannya sangat bagus, promosinya sangat baik. Sehingga itu menyebabkan turun,” tuturnya.
Kusta tidak menyebabkan meninggal tapi menyebabkan cacat. Oleh karena itu dulu ketika belum ada obat, penderita diasingkan. Tapi sekarang berbeda. “Jadi orang kusta bisa dirawat di rumah sakit mana saja. Karena penyakitnya jelas diketahui, penyebabnya tahu, obatnya juga sudah ada. Tinggal sekarang masyarakat menghilangkan stigma itu,” pungkasnya. (Citta Maya/balipost)