Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Melalui penelitian Sukarsa (2009), terungkap data bahwa implementasi konsep Tri Hita Karana pada ranah Parhyangan tercatat 56 %, Pawongan 42 % dan Palemahan hanya 2 %. Itupun untuk ranah Pawongan sebagiannya lagi peruntukannya terkait urusan ritual yang juga menjadi aktivitas penting dalam Parhyangan (selain Pura).

Lebih terhenyak lagi mendapati angka pada ranah Palemahan yang teramat kecil persentasenya. Padahal berkaitan dengan kewajiban menjaga, merawat dan melestarikan lingkungan alam beserta sumber daya hayatinya sebagai penyuplai utama kegiatan Parhyangan (Kahyangan/Pura) dengan upacara yadnyanya.

Sejatinya letak titik sumbu tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan sebagaimana diamanatkan ajaran Tri Hita Karana, ada pada bidang Pawongan (manusia), mengingat posisinya sebagai penggguna seisi alam untuk konsumsi (pangan, sandang, papan) dan juga pemenuhan kebutuhan aktivitas religi.

Hanya saja harus diakui, kesadaran tentang pentingnya penguatan Pawongan ini nyaris tak terdengar, dikamuflase kegairahan dan kesemarakan urusan Parahyangan, termasuk menenggelamkan unsur penentu kehidupan pada ranah Pelemahan. Padahal tanpa Palemahan tidak ada ritual apapun terlaksana, bahkan kehidupan manusia pun tak dapat berlangsung secara berkesinambungan.

Baca juga:  Perempuan Bali Masa Kini

Sadar akan kenyataan itu, penting sekali wacana penguatan Pawongan didengungkan sekaligus mendesak dilaksanakan. Caranya, konsep ajaran Tri Hita Karana yang menjadi spirit (roh) eksistensi Desa Adat dijadikan program unggulan, dimulai dengan membagi secara proporsional struktur anggaran yang didapat melalui dana BKK (Bantuan Keuangan Khusus) Pemvrop Bali sejumlah 300 – 350 juta per tahun. Penggunaannya tidak didominasi, apalagi dihabiskan hanya untuk kepentingan Parahyangan saja, sementara bidang Pawongan guna penguatan karakter krama dikesampingkan, bahkan ditinggalkan.

Kalaupun ada, hanya mengalokasikan dana dalam jumlah kecil semisal untuk kegiatan Pasraman kilat yang durasi waktunya berlangsung beberapa hari. Sepatutnya untuk tujuan penguatan karakter krama disiapkan anggaran memadai, kegiatan terprogram, waktu berkelanjutan dan tetap konsisten pada komitmen memajukan Desa Adat. Bagaimanapun eksistensi Desa Adat adalah sebagai benteng kebertahanan Bali guna menangkal dan memfilter berbagai anasir eksternal yang cenderung mendekonstruksi, mendistorsi dan mendegradasi keajegan nilai luhur adat, budaya Bali yang dijiwai ajaran Hindu.

Baca juga:  Pagerwesi, Perayaan Pagar Jiwa dan Peneguhan Lahir Batin

Jangan sampai peruntukan dana BKK untuk bidang Parahyangan terkesan “asal guna”. Contoh dalam urusan Parahyangan, acapkali Pura yang masih dalam kondisi bagus, dibongkar begitu rupa untuk diperbaiki semisal mengganti bahan dari batu bata dengan batu hitam, atau dipercantik dengan tambahan ukiran megah.

Celakanya ada juga Pura yang sebenarnya bernilai arkeologis sebagai tinggalan sejarah purbakala bahkan dilindungi sebagai cagar budaya, tetapi karena ada rangsangan dana BKK yang wajib digunakan (dihabiskan) terkait pelaporan, akhirnya direnovasi juga bukan lagi direkonstruksi atau direstorasi.

Belum lagi nanti terkait pelaksanaan upacara yadnya di Desa Adat, yang secara periodik terbilang tinggi frekuensinya, terutama Kahyangan Tiga (Pura Desa, Puseh, Dalem), dan Pura-Pura lain yang menjadi sungsungan desa. Sebenarnya sebelum ada BKK setiap Desa Adat ditambah dukungan krama cukup mampu menyelenggarakan keseluruhan rangkaian upacara yadnya.

Namun kini dengan gelontoran dana ratusan juta yang semestinya sanggup mengcover seluruh pembiayaan di Desa Adat, ternyata masih saja ada pungutan (urunan/pacingkrem) pada krama. Logikanya dengan BKK seharusnya dapat meringankan beban material (ekonomi) krama, tetapi kenyataannya tidak sepenuhnya demikian, dan ini tentu saja menjadi salah satu keluhan krama terutama yang berkeadaan kurang/tidak mampu.

Baca juga:  Tumpek Landep, "Otonan Idep" Bukan Motor

Jika hanya dimaksudkan untuk menunjang pembiayaan bidang Parhyangan (Pura dan ritual) memang dana BKK sangat membantu, meski tidak berarti meringankan beban ekonomi krama. Hanya saja jika dikaitkan bidang Pawongan dalam bentuk penguatan karakteristik (kebali-hinduan), sepertinya masih jauh panggang dari api.

Apalagi fenomena perkembangan karakteristik krama, terutama (sebagian) kalangan mudanya lebih banyak terbentuk oleh trend gaya dan model pergaulan zaman now yang cenderung bebas bahkan kebablasan dengan segala bentuk sikap dan perilakunya yang semakin abai terhadap tata krama etika. Tampaknya saat ini, missi penguatan Pawongan di setiap Desa Adat sebagai sesuatu yang wajib hukumnya dilakukan.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *