Djoko Subinarto. (BP/Istimewa)

Oleh  Djoko Subinarto

Kehidupan modern bukan hanya ditandai dengan makin tingginya mobilitas masyarakat, namun ditandai juga dengan makin tingginya tingkat pencemaran [polusi]. Kualitas udara ibukota negara kita, Jakarta, kembali menjadi perbincangan dan sorotan publik. Gara-garanya, Jakarta kembali berada di peringkat pertama sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Sesungguhnya, bukan cuma Jakarta yang menghadapi persoalan polusi udara, kota-kota besar kita lainnya juga menghadapi problem yang sama. Cuma, levelnya belum separah Jakarta.

Seperti sama-sama kita ketahui, selama berpuluh-puluh tahun, kota-kota kita cenderung tumbuh dan berkembang ke arah yang salah. Ruang-ruang kota kita condong diperuntukkan untuk kendaraan bermotor, terutama kendaraan bermotor pribadi. Mobilitas di kota-kota kita akhirnya selalu terkait dengan kendaraan bermotor. Kota akhirnya semakin sesak dengan kendaraan pribadi, juga semakin polutif, dan semakin tidak manusiawi.

Semakin banyak kendaraan bermotor yang memadati kota-kota kita, maka semakin besar sumber daya yang kita gelontorkan agar kendaraan-kendaraan itu bisa terus lancar wara-wiri di sekitar kota. Pelebaran jalan, pendirian jalan layang, pembuatan kantung-kantung parkir terus diupayakan untuk mengakomodir kian bertambahnya kendaraan penduduk kota. Namun, alih-alih lancar, lalu lintas kota-kota kita justru makin ruwet. Selain itu, kota-kota kita justru kita polutif. Itulah realitanya. Dan ini sesungguhnya tidak boleh terus kita biarkan.

Baca juga:  Ekonomi Kerthi Bali, Antara Teks dan Konteks

 

Polusi udara pada hakikatnya adalah proses tercemarnya udara oleh zat-zat pencemar [polutan]. Sebagian besar pencemaran ditimbulkan oleh perilaku manusia, baik disengaja maupun tidak disengaja. Selain dikaitkan dengan gangguan sistem pernafasan, penyakit kardiovaskular, dan kanker, pencemaran udara ternyata juga dikaitkan dengan gangguan mental. Hasil sejumlah kajian baru-baru ini, sebagaimana dikutip laman citymetric.com, menunjukkan bahwa risiko gangguan mental seperti depresi, gangguan bipolar, dan skizofrenia semakin besar peluangnya menimpa mereka yang terpapar pencemaran udara dengan intensitas yang semakin tinggi.

Beberapa kajian lain menunjukkan bahwa mereka yang terpapar pencemaran udara dengan intensitas yang kian tinggi akan lebih berisiko pula untuk mengalami kecemasan, autisme, penurunan kognitif dan demensia. Bahkan, menurut Andrea Mechelli [2020], ada bukti-bukti bahwa pencemaran udara memiliki keterkaitan pula dengan peningkatan risiko aktivitas menyakiti diri sendiri dan bunuh diri.

Sektor transportasi selama ini menjadi sumber utama pencemaran udara di kawasan perkotaan. Sejumlah kajian menunjukkan bahwa lebih dari 70-80 persen pencemaran udara di kota-kota besar disebabkan oleh emisi gas buang dari sejumlah besar kendaraan yang sudah usang dan kualitas bahan bakar yang buruk.

Baca juga:  Menuju Petani Maju 2045

Karenanya, salah satu upaya untuk menekan pencemaran udara di kawasan perkotaan adalah bagaimana melarang kendaraan yang secara emisi gas buang tidak layak jalan dan juga bagaimana mengupayakan penggunaan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Dalam hal penggunaan bahan bakar, kawasan perkotaan semestinya sudah menggunakan bahan bakar standar Euro 4 atau bahkan Euro 6, sehingga mampu berkontribusi pada tingkat penurunan pencemaran udara yang lebih signifikan.

Menekan penggunaan kendaraan bermotor pribadi adalah langkah penting lain yang perlu pula dilakukan. Saat ini, penggunaan kendaraan bermotor pribadi, baik roda dua maupun roda empat, kian dominan di kota-kota besar di negara kita. Hal tersebut tidak boleh terus dibiarkan. Perlu ada keberanian untuk membatasi penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Di saat yang sama, masyarakat mesti didorong untuk beralih kepada transportasi publik. Untuk itu, infrastruktur dan fasilitas bagi transportasi publik perlu terus dikembangkan dan ditingkatkan.

Insentif perlu diberikan untuk pengguna sektor transportasi publik. Insentif, misalnya, bisa berupa program angkutan umum gratis yang diperuntukkan untuk anak-anak sekolah, mahasiswa maupun karyawan untuk rute-rute tertentu dan jam-jam tertentu. Insentif juga bisa disediakan untuk mereka yang pergi ke tempat kerja dengan berjalan kaki atau menggunakan sepeda.

Baca juga:  Meminimalkan Disorientasi Peradaban Bali

Sementara itu, subsidi dapat digelontorkan kepada para pemilik kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Di sisi lain, kebijakan punitif mungkin pula diberlakukan. Contohnya, mengenakan tarif jalan untuk kendaraan bermotor pribadi yang memasuki kawasan-kawasan yang rawan macet pada jam dan hari tertentu.

Kebijakan lainnya yang bisa diambil pengelola kota yaitu membebaskan sejumlah ruas jalan dari semua kendaraan bermotor pribadi. Bahkan bisa saja, jika mau lebih radikal, beberapa jalan dibuat tertutup sama sekali untuk semua jenis kendaraan bermotor. Hanya pejalan kaki, pesepeda, dan kendaraan non-motor yang diperkenankan.

Di samping kebijakan yang terkait dengan kendaraan bermotor pribadi dan penggunaan jalan, upaya untuk mereduksi pencemaran udara kawasan perkotaan dapat dilakukan dengan memperbanyak dan memperluas infrastruktur hijau berupa taman kota, hutan kota, dan pertanian kota. Konsep green roof dapat diadopsi untuk kepentingan ini. Selain ikut mengurangi polusi udara, green roof juga dapat mengurangi temperatur kawasan perkotaaan dan turut memperelok lanskap kota. Maka, kota bukan saja semakin bersih, semakin sehat, dan semakin nyaman, tetapi juga semakin elok.

Penulis, Kolumnis dan Bloger

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *