Oleh I Gusti Ketut Widana
Selama ini orang banyak bicara tentang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), padahal ada bentuk kekerasan yang tak kalah seru, heboh dan bahkan acapkali menggegerkan, khususnya di dunia pendidikan, yaitu “KDRS”: Kekerasan Dalam Ruang Sekolah. Setidaknya kasus siswa membacok seorang guru di Demak, Jawa Tengah (25/9/23) menjadi bukti. Hanya gegara mendapat nilai jelek, dengan brutal menganiaya gurunya hingga mengalami luka serius di bagian leher. Beruntung setelah mendapat perawatan di rumah sakit, nyawanya berhasil diselamatkan.
Kasus teranyar dan sempat viral di dunia maya, terjadi juga pada sebuah sekolah menengah pertama di Cilacap (26/9/23), yaitu aksi perundungan (bullying) oleh kakak kelas yang ternyata ketua geng terhadap yuniornya disaksikan teman sejawat lalu diunggah di medsos. Akibatnya korban harus dirawat di rumah sakit setelah mendapatkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Lebih menyayat hati lagi, sebelumnya (7/8/23) peristiwa serupa dialami siswa kelas dua sekolah dasar di Gresik, matanya dicolok tusuk bakso oleh kakak kelasnya lantaran ditolak keinginannya meminta uang jajan mengakibatkan penglihatan korban terancam buta permanen.
Menyoal KDRS, ternyata tidak hanya terjadi dan dialami di antara para siswa, atau siswa terhadap gurunya, sosok guru pun ada juga melakukan kekerasan terhadap siswanya. Berita terakhir terjadi di Flores Timur-NTT, seorang guru SMK mencelupkan tangan siswanya ke air mendidih hingga melepuh (3/8/23). Belum lagi bentuk kekerasan (hukuman) fisik, mulai jeweran telinga, cubitan hingga penganiayaan, selain kekerasan verbal berupa umpatan, makian atau bahkan penghinaan.
Seperti fenomena gunung es, bentuk-bentuk kekerasan di berbagai lini kehidupan kerap mewarnai dan seakan menjadi story dalam memori sehari-hari, baik yang tampak di dunia nyata maupun yang terekpos dan kemudian viral lewat dunia maya (medsos). Mirisnya lagi sering terjadi di dunia pendidikan yang sebagian besarnya dilakukan kalangan siswa.
Melalui observasi, sebenarnya benih KDRS sudah tampak tumbuh sejak usia dini, lanjut saat duduk di bangku sekolah dasar, kemudian kian berbobot ketika memasuki jenjang sekolah menengah pertama, lebih-lebih tingkat atas. Dimana terjadi peralihan fase pertumbuhan fisik (organis/biologis) hingga memengaruhi perkembangan psikologis, terutama dalam hal kontrol diri secara emosional, disamping masih belum matangnya kepribadian dan jati dirinya. Proses menuju kematangan diri secara personality inilah acapkali diwarnai ekspresi perilaku diluar kendali, cepat terpancing emosi (sumbu pendek) lalu melakukan aksi anarki.
Tumbuh berkembangnya bibit KDRS dapat dideteksi dengan mencermati perilaku siswa yang berpotensi mengarah kenakalan, kebengalan lanjut kekerasan. Mulai dari sikap tidak disiplin (waktu/belajar), sering berulah di kelas (ribut/mengganggu), malas mengerjakan tugas (PR), suka nyontek saat ulangan/ujian, mengajak teman bolos, tawuran, merokok, menenggak miras, celakanya jika sampai menghisap ganja, mengonsumsi obat keras (daftar G), ekstasi, sabu-sabu, dsb. Kalau sudah seperti ini, mudah diduga arah kelakuan siswanya yang tak akan jauh dari urusan kenakalan, kekerasan bahkan kejahatan. Paling tidak tampilan karakternya lebih banyak terekspresi kedalam bentuk perilaku yang sarat aroma perlawanan/pemberontakan terhadap siapapun yang dianggap tidak sejalan, termasuk orang tuanya, teman, guru dan juga lingkungan sosialnya
Tak dapat dimungkiri, ruang atau lingkungan lembaga pendidikan yang namanya sekolah turut andil “melahirkan” generasi tengal, nakal, berandal, dan bisa saja nanti menjelma menjadi geng (preman) seperti kelompok pelajar Bajing Kids di Kuta, lanjut menjurus ke arah tindak kriminal, seperti begal. Ruang-ruang pada sekolah dengan lingkungan tak luas apalagi jumlah siswa banyak dengan guru terbatas jelas tidak mampu mengawasi keseluruhan gerak siswa dengan segala tingkah polah plus ulah pongahnya.
Ditambah lagi kecenderungan sikap permisif kalangan struktur sekolah yang disibukkan dengan urusan administrasi dan birokrasi manajemen pendidikan. Baru setelah terjadi peristiwa KDRS semua pihak seperti kebakaran jenggot merespons, setelah sangat terlambat mengantisipasinya. Intinya, potensi KDRS – Kekerasan Dalam Ruang Sekolah hendaknya sejak dini dicermati, dideteksi lalu segera ditindaklanjuti agar tidak terulang lagi kejadian memilukan, memalukan sekaligus mengenaskan, baik yang menimpa siswa, lebih-lebih guru — sang pahlawan tanpa tanda jasa.
Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar