Seorang wisatawan mancanegara (wisman) melihat kurs rupiah di papan salah satu money exchange di Sanur, Denpasar. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika membuat pelaku usaha non pariwisata di Bali susah bahkan terengah-engah. Pasalnya nilai tukar Rupiah yang terdepresiasi membuat harga biaya-biaya operasional meningkat yang juga memperlemah daya beli masyarakat Bali.

Hal itu dibenarkan Wakil Ketua Umum Kadin Bali, Agus Maha Usadha, Selasa (24/10) kemarin. Dia mengatakan, kondisi saat ini cukup sulit untuk melakukan ekspansi usaha terutama bagi yang bergerak di bidang non pariwisata. Kondisi saat ini sangat tidak didukung dengan tidak adanya kenaikan gaji pegawai negeri.

Hal itu membuat konsumsi rumah tangga melemah dan berdampak ke pelaku usaha. Terlebih melemahnya harga komoditas untuk ekspor turut membuat kondisi pengusaha terjepit.

Menurutnya semua komponen di Bali perlu bergandengan tangan untuk melakukan efisiensi, mengurangi belanja impor, meningkatkan jumlah wirausaha yang berorientasi ekspor dan bila perlu insentif dari pemerintah. Ia berharap pemerintah tetap menjaga kuota subsidi misalnya subsidi BBM agar daya beli masyarakat tetap stabil. “Harapannya untuk menjaga biaya subsidi misalnya pemakaian BBM, dan sebagainya juga jangan menumpuk dolar, memanfaatkan situasi saat ini,” ujarnya.

Baca juga:  Operasional TPST di Denpasar Molor Lagi

Pemda/pemkot di Bali dan Pemprov Bali diharapkan juga dapat menggalang usaha menarik untuk mendapatkan investasi domestik di Bali lebih menarik dan bijak secepatnya terutama terhadap investasi yang mempunyai impact pertumbuhan daya beli masyarakat.

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Provinsi Bali, Erwin Soeriadimadja, Selasa (24/10) mengatakan, perkembangan perekonomian global yang masih diwarnai dengan ketidakpastian yang tinggi dan divergensi arah perekonomian membawa pengaruh terhadap kondisi perekonomian nasional.

Sementara perekonomian negara maju seperti AS menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang kuat ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan sektor jasa yang berorientasi domestik. Di sisi lain, laju inflasi AS masih cukup tinggi sehingga suku bunga kebijakan moneter The Fed Fund Rate (FFR) diprakirakan akan bertahan tinggi dalam jangka waktu lebih lama.

Kenaikan suku bunga global tersebut akan diikuti oleh kenaikan yield (imbal hasil) obligasi pemerintah pada tenor jangka panjang. Perkembangan tersebut mengakibatkan pembalikan arus modal ke negara maju sehingga dolar AS menguat secara tajam terhadap berbagai mata uang dunia.

Baca juga:  PPDB SMP Denpasar, Ratusan Kuota Jalur Prestasi Digeser ke Bina Lingkungan

Di global, secara year to date (ytd), depresiasi terhadap dolar AS terjadi pada mata uang Yen Jepang (12,44%), Dolar Australia (6,61%) dan Euro (1,4%). Di kawasan ASEAN, Ringgit Malaysia (7,23%), Bath Thailand (4,64%), dan Peso Philipina (1,73%). Sementara nilai tukar Rupiah terdepresiasi 1,03% (ytd).

“Langkah-langkah kebijakan stabilisasi rupiah yang ditempuh BI tercatat nilai tukar Rupiah terdepresiasi 1,03% (ytd), sehingga relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi yang dialami mata uang negara lain,” ujarnya.

Dikataknnya, langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah Bank Indonesia difokuskan terhadap intervensi di spot dan DNDF (Domestic Non Deliverable Forward) agar sejalan dengan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian harga-harga barang yang diimpor dari LN (imported inflation). Di samping upaya kebijakan intervensi di pasar valas, BI juga mempercepat upaya untuk memperdalam pasar keuangan rupiah dan valas termasuk optimalisasi sekuritisasi melalui sukuk ritel (SRBI) dan penerbitan instrumen-instrumen lain untuk meningkatkan mekanisme pasar baik dalam mendorong manajemen likuiditas institusi keuangan maupun menarik aliran modal asing ke Indonesia.

Baca juga:  Ini Lima Siswa Peraih Nilai Tertinggi SMA/SMK se-Bali

Selain itu, bersama pemerintah, perbankan dan dunia usaha, BI juga mengimplementasikan instrumen penempatan valas devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA) sejalan dengan PP No. 36 tahun 2023. Dari sisi kebijakan makroprudensial, BI memperlonggar dan memperkuat dengan efektivitas implementasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dan menurunkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) untuk mendorong kredit/pembiayaan bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

BI memperkirakan pada 2023 pertumbuhan kredit akan mencapai 9-11% dan semakin meningkat menjadi 10-12% di 2024. Dengan perkembangan tersebut dan berbagai respon kebijakan Bank Indonesia serta koordinasi dengan pemerintah serta otoritas lainnya. BI memprakirakan ekonomi masih tumbuh baik dan berdaya tahan terhadap dampak rambatan global (contagion effect).

Sementara untuk Bali, pertumbuhan ekonomi juga masih akan tumbuh kuat terutama ditopang oleh meningkatnya aktivitas pariwisata dari kantong-kantong wisman pascapandemi Covid-19 serta meningkatnya mobilitas wisnus untuk berkunjung dan menyelenggarakan MICE di Bali. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *