Pedagang sedang menata dagangannya di pasar tradisional. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Jelang pemilu, rakyat semakin terjepit akibat adanya kenaikan harga- harga pangan. Harga beras kini merangkak naik mulai Rp13.885 – Rp16.000 per Kg. harga cabai tembus Rp100 ribu/Kg, minyak goreng naik menjadi Rp16.994 per liter dan bawang merah kini Rp35.000/Kg.

Demikian juga daging ayam ras naik menjadi Rp38.765 per kg, telur ayam ras menjadi Rp28.009 per kg, bawang putih naik 1,73% menjadi Rp32.381 per kg, gula naik menjadi Rp15.466, dan tepung terigu naik menjadi Rp12.963 per kg.

Kepala BI KPw Bali, Erwin Soeriadimadja mengatakan, penyebab inflasi pada Oktober 2022 karena naiknya tarif angkutan udara, harga cabai rawit, beras, bensin, dan pisang. Kenaikan tarif angkutan udara terjadi karena naiknya permintaan dan naiknya harga avtur. Sementara kenaikan harga BBM terjadi karena naiknya harga BBM non subsidi per 1 Oktober dengan rata- rata kenaikan sebesar 5%.

Menyikapi hal itu, Erwin meminta agar seluruh pihak lebih waspada terhadap potensi kenaikan permintaan menjelang akhir tahun. Pada November ini yang perlu diwaspadai adalah potensi kenaikan tarif angkutan udara karena harga avtur naik dan masih tingginya permintaan penerbangan, potensi cabai rawit yang terus naik sesuai dengan pola panennya.

Baca juga:  Soal PPDB SMA/SMK, Gubernur Keluarkan SE Optimalisasi Daya Tampung

Akademisi Ekonomi dari Universitas Udayana Putu Krisna Adwitya Sanjaya, Selasa (7/11) mengatakan, walaupun pertumbuhan ekonomi Bali lebih tinggi dari nasional namun yang mencengangkan adalah inflasi Bali melebihi nasional. Hal ini akan berdampak pada daya beli masyarakat. Karena inflasi adalah kenaikan harga barang secara umum dan terus menerus. “Sebelumnya inflasi Bali selalu di bawah nasional, apakah ini efek dari kenaikan harga 9 bahan pokok terutama cabai rawit, atau yang lain,“ ujarnya.

Di saat bersamaan Bali belum sepenuhnya pulih sehingga daya beli masyarakat belum kuat. Mayoritas masyarakat Bali yang bertumpu pada bidang pariwisata sedang berusaha untuk bangkit, namun di tengah upaya itu inflasi Bali mengalami peningkatan, lebih tinggi dari nasional sehingga dampak terhadap daya beli masyarakat tentu berpengaruh.

Baca juga:  Ratusan Personel Gabungan Amankan Demo di Renon

Lanjut Krisna, inflasi juga dampak dari musim kampanye saat ini, yang mana peredaran uang semakin meningkat. “Itu juga menyumbang tingkat inflasi kenapa inflasi di Bali lebih tinggi daripada nasional. Tapi secara umum saya yakin TPID akan sepenuhnya kerja agar inflasi turun dan stabil,” tandasnya.

Ketika pertumbuhan ekonomi tinggi dengan tingkat inflasi tinggi maka pertumbuhan ekonomi Bali bisa jadi tidak berkualitas. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi dikatakan berkualitas jika pertumbuhannya mampu memberikan dampak triple down effect seperti penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan.

Sementara berdasarkan data BPS, masih ada masyarakat yang bekerja tidak penuh atau paruh waktu dan setengah menganggur. Artinya bekerja kurang dari 35 jam per minggu. Hal ini tentunya mempengaruhi penghasilan mereka. Meskipun tren pekerja patuh waktu dan setengah pengangguran menunjukkan tren penurunan dari Agustus 2021 hingga saat ini.

Tingkat setengah pengangguran pada Agustus 2023 sebesar 2,57%. Hal ini berarti dari 100 penduduk bekerja, terdapat 3 orang yang termasuk dalam kategori setengah menganggur. Sedangkan pekerja paruh waktu yang kurang bekerja dari 35 jam per minggu mungkin saja karena tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain. Tingkat pekerja paruh waktu di Bali pada Agustus 2023 sebesar 24,54% yang berarti dari 100 orang penduduk bekerja, terdapat sekitar 24 orang yang masuk dalam kategori pekerja paruh waktu.

Baca juga:  Pasca Nyepi, Gianyar Tutup Akses Jalan Sehari

Diakuinya, pertumbuhan ekonomi kita cukup cepat recoverynya. Dari pernah -12% lalu positif bahkan sekarang lebih tinggi dari nasional yang mana dulu pertumbuhan ekonomi kita paling bawah secara nasional.

Dengan sekarang sedang recovery diindikasikan dengan lapangan pekerjaan terbuka, yang dulu kerja shift-shift-an bahkan dirumahkan karena pandemi sekarang dipanggil lagi. Saat ini tingkat pendapatannya belum seperti di era sebelum Covid-19, sehingga perlu penyesuaian lagi. ”Momentum seperti ini harus dimaksimalkan sebaik mungkin agar momentum pertumbuhan ekonomi kita terjaga, stabilitas ekonomi politik terjaga sehingga ekonomi tetap bergeliat,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *