I Wayan Sukarsa. (BP/Istimewa)

Oleh  Ir. I Wayan Sukarsa, M.M.A.

Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan keberlanjutan pangan. Perkembangan sektor pertanian belum mampu memenuhi kebutuhan akan pangan utamanya beras, komoditas hortikultura seperti bawang merah, bawang putih dan cabai yang menjadi faktor pendorong inflasi yang merupakan masalah klasik dari tahun ke tahun, terutama menjelang perayaan hari raya besar keagamaan.

Inflasi merupakan masalah ekonomi  berupa kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu dikenal dengan istilah inflasi komponen bergejolak atau volatile food. Volatile food termasuk ke dalam kategori inflasi noninti dipengaruhi oleh kejutan dalam kelompok bahan makanan.

Kejutan yang dimaksud adalah suatu keadaan sewaktu-waktu mungkin terjadi sehingga memengaruhi kondisi komoditas pangan, seperti panen, gangguan alam, perkembangan harga komoditas pangan domestik dan internasional. Tingkat inflasi erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan taraf hidup berada di bawah garis rata-rata, menjadi pihak yang paling merasakan dampak dari gejolak harga pangan.

Baca juga:  CEO Message #26, Award: Be The Best!

Bayangkan saja, setidaknya masyarakat kelas menengah ke bawah dapat menghabiskan 60% hingga 70% pendapatan mereka hanya untuk makanan (BPS 2019). Artinya, jika harga komoditas meningkat signifikan, biaya yang mereka keluarkan untuk makanan pun ikut meningkat sehingga kondisi ini menjadi tanggung jawab pemerintah menjaga tingkat inflasi dan tugas sektor pertanian sebagai penyedia pangan berkelanjutan.

Pembangunan pertanian khususnya di Bali tidak bisa dilepaskan dari peranan lembaga  tradisional subak yang berfungsi mengatur tata guna air dan tata tanam, dilandasi falsafah Tri Hita Karana dalam mendukung konsep pembangunan pertanian berkelanjutan. Meningkatnya kebutuhan akan lahan  untuk perumahan akibat pertumbuham dan migrasi penduduk, pengembangan infrastruktur untuk mendukung pemenuhan industri pariwisata di Bali yang terus meningkat, disinyalir menjadi  salah satu penyebab terjadinya alih fungsi lahan ke non pertanian, menurunnya debit air, terganggunya sistem distribusi air irigasi serta fenomena El Nino dan La Nina.

Baca juga:  Tinggi Bangunan dan Otonomi Daerah

Ketersediaan air menjadi komponen sangat penting dalam sistem subak dalam mengatur tata kelola air pada tataran teknis pada tingkat petani serta  berpengaruh  pada tata tanam sebagai implementasi prinsip konsep Tri Hita Karana (Windia 2006). Terjadinya perubahan dan fenomena tersebut menjadi permasalahan dan sekaligus tantangan lembaga subak dalam menerapkan pola tanam yang selama ini dengan kecenderungan bercocok tanam padi dibandingkan komoditas hortikultura yang secara langsung  mempengaruhi dan mendorong terjadinya inflasi daerah.

Melihat fenomena yang terjadi pada sumber daya yang dibutuhkan, khususnya ketersediaan air sebagai kebutuhan utama dalam aktivitas subak, kiranya perlu dukungan kebijakan dan perubahan baik dari pemerintah maupun dari lembaga subak. Dari pihak pemerintah selaku penyelenggara urusan pemerintahan sesuai kewenangannya melakukan monitoring ketersediaan dan harga pangan serta kebijakan yang berpihak dalam mendukung pengelolaan dan aktivitas subak melalui upaya menekan terjadinya alih fungsi lahan, perlindungan daerah resapan, menjaga sumber-sumber mata air yang menjadi air irigasi, perbaikan saluran irigasi serta pemanfaatan air mengedepankan dan mempertimbangkan kebutuhan air pertanian demi menjaga dan melestarikan lembaga subak sebagai penyedia pangan dan warisan budaya dunia.

Baca juga:  Mengawal Jiwa Kebersamaan Korpri

Secara internal lembaga subak melihat fenomena yang terjadi  berkaitan dengan ketersediaan air yang dipengaruhi debit air mengalami penurunan, perlu melakukan rekonstruksi otonomi subak dengan langkah-langkah mengatur dan menyesuaikan tata taman atau pola tanam didukung oleh penerapan inovasi teknologi pada tingkatan teknis di lahan sawah sesuai kondisi lapangan dengan mempertimbangkan perkembangan harga pasar dan tingkat kebutuhan akan komoditas pangan yang menjadi faktor penyebab dan pendorong inflasi daerah.

Penulis adalah Analis Kebijakan pada Bidang Riset, Inovasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Badan Riset dan Inovasi Kabupaten Badung

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *