Tangkapan layar - Hakim Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat saat sidang pemeriksaan pendahuluan dalam perkara uji formil yang diajukan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana dan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar di Ruang Sidang Lantai 4, Gedung I MK, Jakarta, Selasa (28/11/2023).(BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Uji formil yang diajukan oleh mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana dan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar harus dikaji dengan paradigma hukum progresif.

“Permohonan ini harus banyak menggunakan paradigma, menggunakan pendekatan yang tidak semata-mata formalistik-legalistik, tapi menggunakan paradigma hukum progresif,” kata Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat, saat memberi nasihat kepada para pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang Lantai 4, Gedung I MK, Jakarta, dikutip dari kantor berita Antara, Selasa (28/11).

Arief menuturkan, paradigma hukum progresif tersebut dikembangkan oleh Prof. Satjipto Rahardjo. Aksioma dalam paradigma hukum progresif itu, kata Arief, adalah manusia bukan untuk hukum, tetapi hukum untuk manusia.

Baca juga:  Dilantik Jadi Hakim MK, Arsul Sani akan Kembalikan Kepercayaan Publik

“Aksioma yang mengatakan ‘Hukum itu tidak semata-mata untuk hukum itu sendiri. Manusia bukan untuk hukum, tapi hukum untuk manusia’, supaya bagaimana peri kehidupan yang demokratis, peri kehidupan negara hukum itu bisa mencapai keadilan yang sangat substantif,” imbuh Arief.

Ia menilai pendekatan tersebut cocok digunakan pada uji formil yang diajukan oleh Denny dan Zainal. Sebab dalam permohonannya, para pemohon merasa adanya ketidakadilan yang bersifat konstitusional dari keanehan dan keganjilan dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Adapun Denny dan Zainal mengajukan permohonan uji formil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) sebagaimana dimaknai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Baca juga:  Antisipasi Bencana Susulan, BNPB Pantau Aktivitas Marapi dan Singgalang

Menurut Arief, permohonan uji formil yang diajukan oleh Denny dan Zainal mengajak mahkamah keluar dari pendekatan yang bersifat formalistik-legalistik.

Karena itu, Arief menyebut perlu pendekatan yang tidak biasa (out of the box) untuk mengkaji perkara dimaksud dengan mengutamakan rasa keadilan yang bersifat substansial.

“Kita harus keluar menggunakan pendekatan yang sifatnya out of the box. Kalau kita menggunakan pendekatan yang linear bukan pendekatan eksponensial, ini selesai, sudah selesai, ini enggak ada masalah, ini pasti arahnya ke mana sudah Anda ketahui,” imbuhnya.

Kendati demikian, Arief menilai permohonan Denny dan Zainal masih perlu diperbaiki, khususnya pada bagian kedudukan hukum (legal standing).

Ia mengatakan hal itu agar permohonan yang diajukan tidak berhenti hanya karena tidak adanya kedudukan hukum yang jelas. “Legal standing dan positanya sampai ke petitumnya harus dipikirkan dengan me-rewrite (menulis ulang) apa yang saya katakan. Kita berpikir out of the box, berpikir progresif, menggunakan pendekatan eksponensial yang ke arah terbentuknya keberanian para hakim diajak untuk keluar dari ketentuan-ketentuan atau norma-norma atau pendekatan yang bersifat formalistik-legalistik,” ucapnya.

Baca juga:  Giliran Asosiasi Pengacara Indonesia di AS Serahkan Surat Amicus Curiae ke MK

Mahkamah memberi waktu kepada para pemohon dan kuasa hukumnya untuk memperbaiki permohonan hingga Rabu (6/12). “Berkas perbaikan hard dan softcopy sudah diterima di MK paling lambat jam 9 pagi. Nanti mahkamah akan melanjutkan dengan menjadwalkan untuk menerima naskah perbaikan dari pemohon,” ucap Ketua MK Suhartoyo mengakhiri sidang. (Kmb/Balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *