Seorang perajin sedang menenun. (BP/dok)

JEMBRANA, BALIPOST.com – Di tengah persaingan ekonomi global, para perajin tenun Cag-cag di Jembrana berjuang untuk tetap eksis dan tidak tenggelam ditelan modernisasi. Sejumlah perajin yang merupakan bagian dari Usaha Kecil Menengah (UKM) ini sejatinya memiliki kekhasan produk. Mulai dari motif, bahan hingga hasil ketekunan dan menenun.

Selain di Kelurahan Sangkaragung yang menjadi sentra Cag-cag, kerajinan ini juga berkembang di desa-desa sekitar seperti Batuagung, Dauhwaru dan Mendoyo Dauh Tukad. Tradisi menenun dengan alat tenun dari kayu masih eksis.

Seperti yang digeluti Gusti Ayu Putu Sutamiarti (34), warga Tegalasih, Kecamatan Jembrana. Ibu rumah tangga mengungkapkan dengan kondisi perekonomian seperti saat ini usaha menenun agak tertatih- tatih.

Ibarat pepatah mati tak enak hidup tak segan. Harga bahan baku utamanya benang sebagai bahan utama kain tenun harganya terus merangkak naik. ”Ya sekedar bisa bertahan saja,” terangnya.

Baca juga:  Jadi Bandar Narkoba, Ini pengakuan Korlap Ormas

Untuk bahan baku kain tenun khususnya jenis benang, Sutamiarti mengaku membeli dari agen. Untuk Satu gulung (atukel) harganya Rp 6.000. Bila dalam satu kain tenun itu memerlukan 12 gulung (12 tukel) akan lebih banyak lagi modalnya. “Untuk satu kain tenun memang memerlukan banyak benang, sesuai motif yang diciptakan. Biasanya kami membuat kain tenun sesuai dengan pesanan,” tambahnya.

Jika motif kainnya bervariasi, lebih banyak membutuhkan benang. Pada umumnya para pembeli kebanyakan memesan kain tenun jenis songket.

Kendati terseok-seok, tenun masih memiliki keistimewaan dan berbeda. Hal inilah yang menjadi keunggulan produk UKM ini dibandingkan dengan cetak.

Baca juga:  Pengamanan Nyepi, Korem "Back Up" Penuh Pemda

Menenun dengan alat manual memerlukan proses waktu lama daripada mesin cetak. Sehingga produk tenun yang dihasilan pasti berbeda. Selain itu pengerjaan secara manual bisa menghasilkan berbagai motif yang bervariasi, bisa diciptakan sendiri dan tidak ada duanya. Sementara cetak motifnya rata-rata banyak yang sama. “Yang terpenting adalah ketekunan dan keseriusan. Saya menenun sejak mulai usia remaja dan awalnya merupakan hobi.Orang tua (ibu) juga menekuni pekerjaan menenun sampai sekarang,” tambahnya.

Bagi generasi saat ini, menenun cenderung dijauhi karena agak susah. Apalagi saat benang kusut, maka akan menjadi masalah.

Padahal sejatinya bila digeluti serius, kegiatan ini menjadi asyik. Pihaknya juga berharap agar perhatian perajin tenun ini juga dilakukan secara merata. Tidak hanya di daerah tertentu saja.

Baca juga:  Keselamatan Bersama yang Utama, Liburan Nataru Tunda Dulu

Salah satu penenun dari Banjar Sawe, Desak Kembarina yang telah menekuni pekerjaan ini sejak usiannya masih 12 tahun ini mengaku biasanya mengerjakan selembar kain dengan motif biasa selama 7 hari. Kain tenunan itu lantas dijual ke pengepul dengan harga bervariasi.

Hampir di setiap rumah di banjar tersebut terdapat satu atau dua alat tenun cagcag. Sebagian besar perempuan baik ibu rumah tangga maupun gadis memilih pekerjaan menenun ini. Sayangnya memang, untuk permintaan juga tidak menentu karena menyetor ke pengepul di Pasar. Namun di saat-saat tertentu seperti misalnya perhelatan PKB ada permintaan lebih dan harganya juga naik. (Surya Dharma/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *