DENPASAR, BALIPOST.com – Pada 2024 merupakan tahun politik, karena pada tahun ini dilaksanakan pemilihan umum. Namun, pesta demokrasi itu tak secara langsung memberikan kegembiraan dari sisi ekonomi, karena 2024 porsi tantangan lebih banyak dibandingkan peluang.
Pengamat ekonomi yang juga akademisi Universitas Udayana, Profesor Wayan Ramantha mengatakan, secara umum, pertumbuhan ekonomi tahun 2024 diproyeksikan oleh beberapa lembaga sekitar 5 sampai 5,8 persen. Tahun 2024, ia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi maksimum di angka 5 persen karena jika dibandingkan antara tantangan dan peluang terhadap pertumbuhan ekonomi di tahun politik, maka lebih banyak tantangannya.
Pertumbuhan mestinya dipacu oleh investasi yang cukup. Namun, di tahun 2024, dunia usaha tidak terkecuali BUMN dan BUMD, dipastikan tidak berinvestasi pada kuartal pertama. Apalagi pihak swasta dipastikan wait and see, sehingga proyeksi pertumbuhan ekonomi ada di angka terendah yaitu 5 persen.
Sementara, dari sisi peluang dan manfaat, produksi alat peraga kampanye tidak terlalu besar dampaknya terhadap pertumbuhan terutama dari produsen-produsen peraga kampanye. Sebab, sekarang kampanye kebanyakan elektronik yaitu lewat media sosial. Demikian juga dampaknya terhadap inflasi yang diproyeksi 2,5 persen plus minus 1 di tahun 2024. Dengan pertumbuhan ekonomi yang lemah, maka inflasi juga terkendali karena pendapatan masyarakat stagnan yang berdampak pada permintaan komoditas tertentu tidak terlalu tinggi. Inflasi dipastikan akan terkendali di bawah 3 persen.
Pertumbuhan ekonomi yang tidak kuat di tahun politik juga akan terganjal dengan berakhirnya kebijakan restrukturisasi dan relaksasi pada Maret 2024. Mengingat relaksasi diberikan karena pengaruh Covid-19 dan Bali paling berdampak dengan adanya pandemi karena kedatangan wisatawan minim, bahkan tidak ada. Maka ketika pandemi berakhir, relaksasi juga dihentikan.
Persoalannya, ketika relaksasi dihentikan bukan karena Covid-19 lagi, tapi karena adanya tiga perang yaitu Rusia dan Ukraina, perang Israel dan Palestina, dan perang dagang AS dan China, dampaknya pada pertumbuhan ekonomi global semakin parah. Sehingga dengan demikian, kondisi tersebut tetap berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia dan pemulihan ekonomi Bali yang belum mulus.
Menurutnya, ekonomi Bali yang biasanya tumbuh 1 persen di atas rata-rata ekonomi nasional menyebabkan pertumbuhan ekonomi Bali tahun depan hanya berkisar 5 sampai 5,8 persen, bahkan ia memprediksi 5 persen. Di sisi lain, dengan berakhirnya relaksasi serta restrukturisasi, sektor riil juga harus terpacu untuk melaksanakan kewajibannya melakukan pembayaran bunga. Sektor keuangan terutama BPR akan mengalami peningkatan NPL.
Di tengah pertumbuhan ekonomi yang belum bagus, sektor riil juga dihadapkan adanya kewajiban membayar bunga dan pokok, pembayaran akumulasi bunga tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ekonomi Bali tahun 2024 yang belum stabil, masih ditopang kuat oleh bidang pariwisata. Dari 6 sektor unggulan Ekonomi Kerthi Bali, yang baru terlihat geliatnya adalah UMKM dan ekonomi digital. Itupun dengan pertumbuhan yang belum mencapai target yang diharapkan.
Sementara, tiga sektor lainnya seperti pertanian, belum terlihat kinerjanya karena pertanian secara konvensional sangat sulit untuk ditingkatkan. Dengan keterbatasan kepemilikan lahan, alih fungsi lahan terus menerus, serta ekosistem pertanian yang belum matang, membuat sektor ini sulit melaju.
Sektor pertanian perlu hilirisasi dan industrialisasi dari produk-produk pertanian oleh petani sendiri. Ini yang agak memakan waktu dan hasilnya pada 2024 belum akan nampak, demikian juga di sektor kelautan. Sampai penghujung tahun 2023 bahkan 2024, Bali diperkirakan masih bergantung pada sektor pariwisata. (Citta Maya/balipost)