DENPASAR, BALIPOST.com – Rencana menjadikan bahasa Bali sebagai Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) di perguruan tinggi telah mendapat lampu hijau dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemenristek Dikti. Namun, persetujuan itu tidak ada artinya bila pihak kampus atau perguruan tinggi di Bali tidak mau mengakomodir. Oleh karena itu, Pansus Revisi Perda No.3 Tahun 1992 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Bali segera akan mengundang pimpinan perguruan tinggi se-Bali untuk dimintai pendapatnya.
“Hasil konsultasi ke Ditjen Dikti, intinya boleh sepanjang kampus-kampus di Bali setuju. Kurikulum tidak lagi menjadi urusan pusat, penuh menjadi urusan kampus-kampus di Bali. Oleh karena itu, kami akan segera mengumpulkan rektor, ketua, dan direktur perguruan tinggi swasta dan negeri di Bali,” ujar Ketua Pansus Revisi Perda Bahasa, Sastra dan Aksara Bali di DPRD Bali, I Nyoman Parta dikonfirmasi, Senin (19/2).
Menurut Parta, kepentingan utama menjadikan bahasa Bali sebagai MKDU di perguruan tinggi adalah pelestarian. Selain itu, ada banyak aktivitas perguruan tinggi di lapangan yang membutuhkan pemahaman bahasa Bali. Sebagai contoh, mahasiswa atau lulusan Kedokteran yang harus bertugas ke desa-desa di Pulau Dewata. Ketika menghadapi masyarakat desa yang sakit, mereka harus memahami istilah-istilah kesehatan seperti “puruh” atau “tuju”.
“Kalau orangtua kita di desa ditanya rematik, mereka tidak mengerti. Mereka hanya tahu tuju. Dokter kan harus mengerti ini,” jelas Ketua Komisi IV DPRD Bali ini.
Bukan hanya di bidang kesehatan, lanjut Parta, mahasiswa di perguruan tinggi juga harus memahami istilah-istilah yang berkaitan dengan tempat ataupun kebudayaan Bali secara umum sesuai dengan bidang ilmunya. Jadi, MKDU bahasa Bali yang diberikan di perguruan tinggi tidak sama dengan materi bahasa Bali di tingkat SD atau SMP. Namun hanya sebatas memperkenalkan berbagai istilah dalam bahasa Bali yang berkaitan dengan bidang ilmunya. Sebab, mahasiswa yang mengetahui bahasa Bali diharapkan lebih cepat tahu dan memahami budaya Bali.
“Di dunia pariwisata apa misalnya, pemangku, pinandita, sulinggih, selama ini disebut manager ceremony, penjor disebut just decoration. Kan tidak tepat, mestinya disebut pemangku atau penjor saja. Penjor itu kan ada maknanya, biar mengerti dia. Ketika terjun menghadapi tamu kan bagus, karena tamu juga bisa mendapatkan informasi yang benar,” papar politisi PDIP ini.
Parta menambahkan, ada banyak pengajar yang dimiliki Bali untuk memberikan MKDU bahasa Bali. Tidak hanya dosen di perguruan tinggi itu, tapi juga bisa mengundang ahli ataupun tokoh-tokoh adat seperti bendesa yang memahami istilah-istilah tersebut sebagai dosen luar biasa. Dikatakan, MKDU bahasa Bali yang akan diatur dalam revisi perda bukan untuk menyulitkan mahasiswa dari luar Bali. Tapi sebaliknya, justru akan membantu mereka untuk memahami pulau seribu pura ini.
“Membantu mereka, 5 tahun dia di Bali ya dia harus tahu bahasa Bali. Dengan dia tahu bahasa Bali, lebih cepat dia akan tahu budaya Bali,” tandasnya.
Diwawancara terpisah, Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengatakan, rencana menjadikan bahasa Bali sebagai MKDU memang harus dibicarakan dengan para rektor atau pimpinan perguruan tinggi. Pasalnya, menambah satu mata kuliah bukanlah sesuatu yang mudah. Butuh persetujuan dari Menristek Dikti serta perguruan tinggi bersangkutan.
“Jadi tidak sesederhana itu. Tapi kita harus berusaha, mudah-mudahan bisa. Cuma persoalannya nanti bagaimana mahasiswa yang bukan orang Bali, kan banyak. Mudah-mudahan sih bisa,” jelasnya. (rindra/balipost)