NEGARA, BALIPOST.com – Konflik Krama dengan desa adat di Desa Adat Budeng terkait tidak diberikan hak pelayanan adat dan tempat (sema) Pitra Yadnya terjadi. Salah seorang warga di Desa Adat Budeng, Kecamatan Jembrana tidak mendapatkan pelayanan adat untuk pitra yadnya anaknya yang meninggal karena kecelakaan di sema atau setra.
Secara kemanusiaan, pihak keluarga menilai semestinya diberikan kebijakan menggunakan sema atau paling tidak mendapatkan tirta dari Pura Prajapati dalam prosesi Pitra Yadnya ini. Namun, karena keputusan desa, akhirnya pihak keluarga I Wayan Sudiarta melaksanakan kremasi anak yang meninggal akibat kecelakaan di Krematorium Tegal Badeng Timur, Sabtu (6/1).
Adik Wayan Sudiarta, I Komang Sumita (53) menyayangkan sanksi adat yang diterapkan pada keponakannya, meskipun sebenarnya yang menjalankan sanksi adat kakaknya. Sudiarta yang merupakan mantan Ketua LPD Budeng diakui sempat mengalami permasalahan pengelolaan (penyalahgunaan) dan dalam paruman sanggup mengembalikan serta dikenai sanksi sosial, salah satunya tidak mendapatkan pelayanan adat.
“Yang tercantum bapaknya yang membayar, ini kan anaknya yang meninggal, kami memohon haknya anak. Sangat kami sayangkan tidak ada kebijakan, sudah berkali-kali kami datang ke Bendesa memohon, tetap tidak bisa,” ujarnya.
I Nengah Ardana (43) kerabat lain, juga sangat menyayangkan tidak ada toleransi sementara Sudiarta juga telah beberapa kali membayar kewajiban. Termasuk rumah juga sudah dipasangi papan pengumuman. “Tidak ada pembahasan terkait ini, awig juga tidak ada tertulis, kami sudah tiga kali memohon ke Bendesa tetap saja tidak boleh,” katanya.
Meski digelar di luar desa, Krama desa Adat Budeng juga ikut mengiringi prosesi pengabenan.
Sementara itu, Bendesa Budeng, I Ketut Hindu Riyasa dikonfirmasi Minggu (7/1) mengatakan keputusan itu untuk menegakkan hasil paruman kaitannya dengan awig-awig dan pareram Desa Adat Budeng. Jauh sebelumnya di 2021, dalam paruman telah diberikan kebijakan yang bisa ditempuh bersangkutan (kesanggupan pembayaran), tetapi tidak dipenuhi kewajibannya itu.
“Karena ini bukan terkait dana pinjaman, tetapi penggelapan, keputusan paruman memberikan ruang kebijakan agar diselesaikan. Saat itu, sanggup tiap bulannya Rp 4 juta, tapi sekarang tiga tahun baru terkumpul Rp 16 juta, ini menjadi bidikan masyarakat. Kalau kita tidak sekarang menjalankan ini, nanti akan semakin berat,” kata Bendesa.
Secara pribadi, pihaknya juga merasa kasihan. Tetapi selaku Bendesa, pihaknya juga harus menjalankan aturan yang ada. Sebenarnya putusan perarem masih ada kebijakan dengan syarat melakukan pengembalian itu.
Bila saklek menerapkan awig-awig, warga ini sudah tidak ada di Budeng karena kesepekang. “Kami manusiawi juga, kalau jalankan itu sudah dari dulu jalankan. Tetapi masih ada kebijakan. Waktu ke rumah juga kami jelaskan langsung, beliau selaku karyawan apalagi Ketua LPD, melakukan penyimpangan tahu sanksinya. Dan harus dipenuhi sanksinya. Tetapi tidak dipenuhi, untuk menjaga kondusivitas. Bendesa harus bagaimana secara sekala lan niskala, apa yang ditegakkan desa adat,” terangnya.
Dan menurutnya penegakan ini bukan baru sekali ini diterapkan. Beberapa kali dilakukan pada krama dengan keputusan bersama melalui paruman. Melainkan bukan terkait penyalahgunaan, tetapi kredit macet. (Surya Dharma/balipost)