Oleh Putu Rumawan Salain
Secara singkat sebuah jembatan merupakan komponen dari infrastruktur transportasi yang menghubungkan suatu titik ke titik berikutnya atau dari dan ke. Keberadaan jembatan tersebut sering terjadi karena adanya bentangan sungai, jurang, bahkan juga laut. Singkat kata jembatan adalah penghubung “traffic flows”! Sosoknya merupakan struktur yang terbangun dari berbagai alternative struktur, bahan atas fungsinya. Salah satunya adalah berupa jembatan gantung.
Di Bali secara perlahan keberadaan jembatan gantung sudah mulai berkurang dan terkesan tidak mendapatkan perawatan yang semestinya. Dengan kata lain dibiarkan hingga rusak dimangsa waktu dan cuaca. Salah satu yang masih bisa dinikmati adalah jembatan gantung di Sukawati. Jembatan gantung lainnya yang berlokasi di atas Sungai/Tukad Petanu di desa Blahbatuh, Gianyar yang baru saja di dibongkar, di potong-potong karena terberitakan bahwa tali kabel bajanya “tali sling” penggantung di sisi selatan ada yang putus, dan dikhawatirkan roboh DAPAT menimpa Vihara Amurva Bumi.
Jembatan gantung tersebut dari data yang diperoleh dibangun oleh pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1908 (Puputan Klungkung tahun 1908). Dengan demikian jembatan gantung tersebut telah berusia 116 tahun. Panjang jembatan tersebut adalah sekitar 60 meter dengan lebar 5 meter. Jembatan tersebut sangat berjasa untuk mengantarkan orang maupun barang antar desa, kota hingga antar propinsi. Dan sangat mungkin termanfaat untuk kepentingan keamanan “perang” saat pemerintahan kolonial Belanda maupun Jepang. Jembatan tersebut menjadi saksi bisu bagi yang lalu lalang diatasnya.
Entah apa pertimbangan pemerintah sesaat setelah dibangunnya jembatan pengganti dari konstruksi beton, sehingga keberadaannya kurang mendapatkan perhatian maupun perawatan sejak tahun 1977. Namun sesekali terlihat ada beberapa kerumunan remaja yang melakukan latihan SAR oleh Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA). Artinya jembatan tersebut sudah tidak dioperasikan lagi untuk melayani transportasi.
Awalnya sempat terpikir oleh penulis bahwa wujud struktur yang telah diatas 50 tahun, memiliki keunikan, dan berjasa bagi transportasi akan dicatatkan sebagai Cagar Budaya. Akan tetapi dugaan dan harapan tersebut pupus karena pada akhir tahun 2023 sudah diputuskan untuk dibongkar.
Jika ditilik dari usia tidak digunakannya jembatan dimaksud telah mencapai 47 tahun, dalam perjalanan usianya dari informasi saudara Anindya Putera disebutkan bahwa pernah tercetus istilah untuk memuseumkan jembatan tersebut. Maksud memuseumkan tersebut diinterpretasikan sebagai sebuah upaya pelestarian dan menjadikannya objek pajangan, informasi, sekaligus edukasi. Konon Ide tersebut tercetus ketika menteri Pekerjaan Umum dijabat oleh Bapak Joko Kirmanto pada saat Kabinet Indonsesia Bersatu. Selanjutnya masih oleh Anindya menurut ingatannya pernah dilakukan tindakan perawatan terhadap jembatan dimaksud.
Kini jembatan Gantung di atas Tukad Petanu yang telah berusia lebih dari satu abad telah dibongkar. Hilanglah sudah sebuah warisan teknologi infrastruktur transportasi di Bali. Harapannya tentu sebagai peninggalan masa lalu dapat dilestarikan melalui pemeliharaan yang intensif, berkala, dan terstruktur sehingga keberadaannya dapat dijadikan monumen sejarah transportasi di Bali. Kesempatan untuk mempertahankan Jembatan gantung Petanu sangat signifikan mengingat usianya yang telah melampaui 50 tahun, memiliki sejarah di tiga jaman : dari kolonial Belanda dan Jepang, kemerdekaan, dan pasca kemerdekaan, jumlahnya di Bali tidak banyak “unik”, serta memiliki nilai estetika yang tinggi. Dengan singkat kata objek struktur tersebut memiliki nilai Outstanding Value, dan layak dipertahankan.
Kata memuseumkan diatas sepertinya bermakna tentang upaya konservasi jembatan dimaksud, dengan kata lain agar dicatatkan sebagai asset Cagar Budaya melalui peran pendampingan Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Gianyar dan atau Provinsi yang selanjutnya dapat saja menjadi asset Cagar Budaya Nasional. Jika proses ini telah pernah dilalui maka untuk proses pembongkarannya wajib dilengkapi dengan kajian akademis dilengkapi dengan dokumentasi foto dan video yang lengkap, detail, dan lainnya sesuai prosedur.
Jika oleh karena kondisi strukturnya yang sangat mebahayakan , objek jembatan tersebut dapat saja didemolisi (dihancurkan dalam arti dibongkar), kemudian dipindahkan disuatu tempat dibangun kembali sebagai objek rekreasi, informasi, pendidikan seperti layaknya sebuah museum. Semoga saja potongan konstruksi baja jembatan layang tersebut tidak dijual sebagai barang bekas “rongsokan”.
Selanjutnya akan baik sekali sebagai informasi dan penghargaan kepada objek jembatan gantung masa lalu tersebut dibuatkan foto dan maketnya yang ditempatkan di pinggir jalan ujung timur lokasi jembatan , di depan Vihara Amurva Bumi, serta dilengkapi diskripsi singkat tentang sejarah jembatan dimaksud.
Tulisan singkat ini menginformasikan sekaligus mengajak seluruh pihak yang berkepentingan seperti Pekerjaan Umum, Perhubungan, Lalu Lintas, Balai Cagar Budaya, Museum, Perguruan Tinggi, dan yang terkait untuk bersama-sama melindungi asset terakhir dari Jembatan Gantung yang berlokasi di Dusun Cemenggaon, Desa Sukawati, Kecamatan Sukawati-Gianyar. Menurut informasi jembantan Gantung ini dibangun lebih dahulu dari yang di Tukad Petanu. Semoga pemikiran yang baik berdatangan dari segala penjuru, Mari kita hargai, hormati, manfaatkan sejarah untuk memuliakan sesama! Selamat.
Penulis, Guru Besar Konservasi Arsitektur Universitas Udayana