Suasana di pintu keberangkatan internasional Bandara I Gusti Ngurah Rai, Denpasar, Bali, Jumat (8/12/2023). (BP/Ant)

DENPASAR, BALIPOST.com – Stakeholder pariwisata mengusulkan agar Bali memiliki otoritas khusus di bidang pariwisata, seperti Batam dan Labuan Bajo. Otoritas khusus tersebut, terutama dalam pengelolaan keimigrasian, kebijakan investasi dan pengelolaan pintu masuk Bali lewat Bandara Ngurah Rai maupun pelabuhan, di bawah kendali Pemprov Bali sebagai wujud nyata “Local Wisdom Governance One Island Tourism Management for Bali”. Demikian terungkap dalam NCPI Sharing Session: Kebijakan Pemerintah di bidang Pariwisata Bali Menghadapi Tantangan Global di Seminyak, Badung pada Senin (22/1).

Pengamat Ekonomi Bali Viraguna Bagoes Oka mengatakan, sebagaimana halnya pada masa silam Bali sebagai daerah “Swatantra Bali” berbasis THK dan local wisdom sehingga dapat dipastikan Bali akan bisa memiliki sumber dana sendiri dari VOA. Dalam setahun potensinya bisa mencapai Rp3 triliun dari target wisman 7 juta di tahun 2024-2025.

Baca juga:  Anak SMP Hilang, Keluarga Gunakan Gambelan Mencari

Dengan demikian Bali akan memiliki potensi besar atas sumber dana investasi yang masuk ke Bali. Dana tersebut menurutnya wajib ditempatkan di perbankan di Bali sehingga ada nilai tambah untuk perbankan di Bali.

“Dengan demikian dana investor tidak lagi nongkrong di bank-bank di Singapore atau luar negeri. Demikian juga halnya dengan filter keimigrasian akan dapat difilter dengan ketat sesuai landasan kearifan lokal karena keimigrasian nantinya akan bisa langsung di bawah kendali dari Pemprov Bali, bukan lagi oleh keimigrasian KP Jakarta,” tandasnya.

Namun sebelumnya, Bali harus memiliki Masterplan Pariwisata Bali siklus 10 tahunan (2018-2028) , berlandaskan tantangan, ancaman dan akibat dari krisis global atau pandemi yang telah dialami Bali selama 2018-2023. Kondisi itu yang dijadikan dasar untuk menata pariwisata Bali hingga 2028 .

Baca juga:  Tingkatkan Angka Kesembuhan Pasien COVID-19, Bali Tambah Alat Ini

Pengalaman masa lalu siklus 10 tahunan (1988-1998, 1998-2008 dan 2008-2018), perekonomian dan pariwisata Bali masa lalu dapat digunakan sebagai landasan dasar untuk memperbaiki atau menata kepariwisataan Bali di era mendatang yaitu 2024-2028. Ini, untuk mewujudkan Bali yang Hita, yakni bebas macet, bebas sampah, bebas kriminal, bebas wisman berperilaku buruk karena mencontoh masyarakat Bali, bebas pariwisata murahan dan destinasi narkoba, dan sebagainya.

Mengingat pariwisata Bali berbasis adat dan budaya, maka setiap calon pekerja, terlebih yang berasal dari luar Bali, perlu diberikan pembekalan apa saja Dos & Don’ts dalam menunjang keberlangsungan lokal wisdom Bali. Dengan demikian Bali tetap atau bahkan semakin menarik bagi wisatawan.

Baca juga:  3 Hari Terakhir, Bali Catatkan 5 Kasus Positif COVID-19 Tak Punya Riwayat ke Luar Bali

Selain itu juga setiap pelaku usaha di bidang pariwisata wajib memahami dan menerapkan Tri Hita Karana dalam menjalankan usahanya. “Bila perlu diinisiasi untuk diadakan workshop Sertifikasi Tri Hita Karana. Sertifikasi ini kemudian bisa dipakai sebagai tambahan syarat usaha pariwisata di Bali,” imbuhnya.

Adapun pungutan Rp150.000 per wisman yang akan diterapkan mulai 14 Februari 2024, agar menggunakan sistem IT kekinian. Artinya, agar dapat dilakukan pengumpulan dan pendistribusian secara otomatis melalui sistem, tanpa perlu campur tangan manusia lagi.

Sistem pungutan ini selanjutnya dapat dimonitor oleh para stakeholder yang berkepentingan.Dengan demikian diharapkan tidak ada kebocoran dari hasil pungutan wisatawan tersebut. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *