Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh  I Gusti Ketut Widana

Siapa sangka, fenomena kemunculan plus kebrutalan geng motor yang semula lebih sering ditonton lewat berita televisi dan terjadi di luar daerah, kini justru kian dekat dan bahkan sudah beberapa kali terjadi di Bali. Sebut saja dua kasus terakhir yang sama-sama memakan korban jiwa, pertama pengeroyokan di Jl. Dewi Madri I Denpasar Timur, dan teranyar terjadi di Jalan Raya Sempidi-Dalung Badung (BP, 17/1).

Tak berselang lama setelah peristiwa terakhir ini, terjadi lagi aksi pengeroyokan yang menimpa tiga orang pemuda asal Munggu Badung hingga mengalami sejumlah luka di sekujur tubuhnya. Mirisnya, rata-rata para pelaku masih tergolong pelajar bahkan sebagian di antaranya berstatus siswa SMP. Pertanyaannya, mengapa pelaku kejahatan seperti pengeroyokan hingga pembunuhan tak jarang melibatkan kalangan remaja termasuk pelajar, dimana letak permasalahannya?

Filsuf Cina Mengzi (Mencius), sering disebut sebagai “Orang Bijak Kedua” setelah Konfusius mengklaim bahwa : “sifat manusia itu baik”. Maksudnya, setiap manusia itu sejak lahir adalah baik, tetapi lingkunganlah yang kemudian membentuknya menjadi tidak baik”. Hal ini sejalan dengan teori Empirisme yang menyatakan bahwa manusia sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh lingkungannya. Asumsi psikologis yang mendasari teori ini adalah bahwa manusia lahir dalam keadaan netral, tidak memiliki pembawaan (bakat) apapun. Ia bagaikan kertas putih (tabula rasa) yang dapat ditulisi apa saja yang dikehendaki.

Baca juga:  Dijanjikan Kerja, ABG "Dijual" di Kafe di Buleleng

Berbeda dengan teori Nativisme (Arthur Scopenhauer) yang berpendapat bahwa perkembangan individu semata-mata dipengruhi faktor pembawaan sejak lahir, yang akan menentukan perkembangan berikutnya. Dari kedua teori yang saling bertentangan ini melahirkan teori konvergensi (William Stern) yang lebih moderat bahwa perkembangan manusia dipengaruhi interaksi dan perpaduan antara faktor hereditas (bawaan) dan lingkungan. Terbentuknya kepribadian seseorang ditentukan oleh kerja integral antara faktor internal (potensi bawaan) maupun faktor eksternal (lingkungan/pendidikan), Dimana keduanya berproses secara konvergen tanpa bisa dipisahkan.

Teori Konvergensi ini sangat relevan untuk menjelaskan lebih jauh terkait kasus-kasus penyimpangan perilaku yang kemudian mengarah pada tindakan kejahatan, seperti pengeroyokan hingga peristiwa pembunuhan yang antara lain dilakukan kelompok geng motor beranggotakan anak-anak muda (remaja) terutama kalangan pelajar/mahasiwa. Dengan merujuk teori Konvergensi, jelas sekali penyebab tindak kriminal tersebut  akibat pengaruh lingkungan, mulai dari tingkat keluarga dengan pola asuhnya, lembaga pendidikan dengan kewajiban pembinaan karakter dan juga lingkup pergaulan yang seringkali menjerumjuskan. Jika  ketiga lingkungan dimaksud tidak berfungsi sebagaimana mestinya, inilah yang dapat disebut salah “ABG” : salah Asuh, salah Bina dan salah Gaul.

Baca juga:  Pentingnya Pembentukan Kesadaran Diri

Salah Asuh, terutama di lingkungan keluarga, sejak dini anak tidak mendapat asuhan memadai. Tidak semata-mata soal pemenuhan kebutuhan pangan sandang papan, tetapi lebih spesifik lagi menyangkut pola asuh yang secara konsisten mengarahkan sang anak untuk selalu dalam keadaan “terkendali”, tidak lepas kontrol dengan memberikan kebebasan tanpa diminta pertanggungjawaban. Lalu Salah Bina, tertuju pada lingkungan pendidikan dengan peran, tidak hanya mencerdaskan anak (siswa) tetapi lebih penting lagi membina karakteristiknya.  Meskipun realitanya, justru dalam  dunia pendidikan (sekolah) tak jarang  menjadi asal  muasal tumbuhnya bibit kenakalan anak. Awalnya dianggap nakal biasa sebagaimana umumnya anak-anak normal.

Baca juga:  Bali: Budaya dan Pendidikan adalah Satu

Namun ketika kenakalan diberi ruang gerak makin bebas dalam bentuk pembiaran, ini akan menjadi modal awal untuk selanjutnya terbentuk menjadi anak berandal. Semakin fatal  lagi jika kemudian masuk kedalam lingkungan pergaulan yang salah.  Contoh, gemar berkelompok tanpa kegiatan positif, nongkrong hingga larut malam, ditimpali acara “seminar” (senang minum arak/tuak), bergabung dengan klub/kelompok tidak jelas tujuannya, dll.

Dari sini saja sebenarnya sudah terdeteksi ke arah mana jadinya anak ini, yang pastinya akan  semakin brutal hingga berani bertindak kriminal lewat aksi seperi pengeroyokan hingga memakan korban jiwa tak bersalah. Kalau saja tidak terjadi salah “ABG” (salah Asuh, Bina dan Gaul), dijamin anak generasi harapan bangsa ini bisa diarahkan agar menjadi “ABG” – Anak Baik dan berGuna.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *