I K. Sumantra. (BP/Istimewa)

Oleh I K. Sumantra

Tumpek Wariga juga disebut Tumpek Bubuh, Tumpek Pangatag, dan Tumpek Pawarah. Saat hari tersebut umat Hindu di Bali memberi penghormatan kepada alam dan lingkungan, khususnya kepada tumbuh-tumbuhan. Disebut Tumpek bubuh karena sarana utama yang dipersembahkan pada waktu itu adalah bubuh sumsum (bubur sumsum) yang mengandung arti bubur sumsum adalah simbol dari darah purusa (laki-laki) yang merupakan kama petak (darah putih), di atas bubur sumsum diisi kelapa parut serta gula Bali berwarna merah sebagai simbol pradana (perempuan) atau kama bang (darah merah).

Dari pertemuan darah ini terjadi pembuahan (Puspa, 2016). Pembuahan ini menghasilkan buah dan biji merupakan cikal bakal calon benih atau bibit.

Bubuh ini dimaknai oleh umat Hindu sebagai pemberi kesuburan. Prosesi tradisi nguduh ini merupakan wujud dalam menghasilkan dan memelihara benih untuk melestarikan alam semesta. Disebut Tumpek Pangatag karena pada upacara ini berisi ngatag.

Kata ngatag artinya menggetok-getokkan parang atau pisau pada batang tumbuhan atau pepohonan yang diupacarai. Disebut sebagai Tumpek Pangarah karena umat Hindu sudah diingatkan pada saat tumpek itu bahwa hari raya Galungan akan datang 25 hari lagi.

Baca juga:  Menjadi Guru Inovatif

Umat Hindu menyadari bahwa kehidupannya ditopang oleh tumbuh-tumbuhan bukan hanya untuk kebutuhan akan makanan dan minuman, tetapi juga untuk obat, dan sarana upakara.

Pemujaan yang dilakukan kepada Sang Tumuwuh (Dewa Sangkara) adalah dengan memelihara tumbuh-tumbuhan dan mengasihinya. Tumpek uduh juga sekaligus sebagai bentuk implementasi konsep Tri Hita Karana, yakni membangun hubungan harmonis dengan alam.

Tanpa lingkungan dan alam, khususnya tumbuh-tumbuhan, manusia tidak akan bisa hidup sejahtera apalagi bahagia. Karena itu sepatutnya berterima kasih kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Sangkara yang pemeliharan tumbuh-tumbuhan.

Upacara Tumpek Wariga umumnya dilakukan di kebun atau tegalan milik warga, pada salah satu atau beberapa pohon buah akan dihaturkan sesaji dalam beberapa jenis bebantenan ditambah bubur sumsum yang berisi kelapa dan gula merah.

Biasanya, saat ngatag, pemilik kebun akan menyampaikan kalimat dalam bahasa Bali sebagai berikut: Kaki kaki. Nini nini. Sarwa tumuwuh. Niki tiyang ngaturin bubuh mangde ledang tumbuh subur bin selai lemeng jani Galungan apang mabuah. Nged. Nged. Nged.

Baca juga:  Implementasi Pergub No. 97 Tahun 2018 Sulit Diterapkan di Sini

Artinya berbuah lebat. Pada saat pangatag diikuti dengan menggoreskan parang (nektek) pada batang tumbuhan. Lalu pada bekas goresan tadi diolesi bubuh atau bubur.

Apa yang dilakukan oleh umat Hindu di saat Tumpek Wariga adalah merupakan
implementasi produksi buah di luar musim. Produksi buah di luar musim (off season) merupakan pengaturan pembuahan dengan tujuan untuk mendapatkan buah di luar musim panen atau di luar masa berbuah normal (on season) melalui perentangan periode pembuahan, yaitu mempercepat awal musim atau memperlambat akhir musim buah.

Dari sisi pembentukan bunga dan buah, pelukaan batang akan menganggu pengangkutan zat makanan hasil fotosintesis dari tajuk ke akar. Bekas luka diolesi bubur bermakna menutup luka dan juga asupan makanan bagi tanaman.

Menginduksi pembungaan pada tanaman dengan cara pelukaan batang ataupun cabang tanaman diduga karena pengaruh pada berbagai hal: Pertama, akan menghambat translokasi fotosintat dari tajuk ke akar, sehingga terjadi penumpukan karbohidrat di bagian tajuk. Penumpukan karbohidrat ini akan menyebabkan peningkatan nisbah C/N pada tajuk. Kedua, hambatan translokasi
karbohidrat ke akar menyebabkan akar kekurangan fotosintat untuk melakukan aktivitasnya sehingga aktivitas akar akan berkurang dalam mengabsorsi air, unsur hara, sintesis hormon.

Baca juga:  Tradisi Masolah di Pura Dalem Tengkulung Setiap Tumpek Wariga

Rendahnya absorsi hara terutama nitrogen akibat dari pelukaan akan menyebabkan nisbah C/N pada tajuk akan meningkat. Ketiga, terganggunya
fungsi akar karena akan menyebabkan berkurangnya sintesis hormon, termasuk giberelin. Pelukaan menyebabkan hasil fotosintesis tersebut akan menumpuk pada batang, cabang, ranting, dan daun.

Titik kritis proses pembungaan terletak pada tahap induksi bunga, yaitu saat terjadi
transisi dari fase vegetatif ke fase reproduktif. Pengaturan pembungaan sangat mungkin dilakukan bilamana mengacu pada dua teori universal tentang pembungaan yaitu: a) inisiasi bunga pada tanaman tidak akan terjadi kecuali bila dirangsang (diinduksi), b) tanaman yang berada pada kondisi yang kurang sesuai untuk pembungaan menghasilkan satu atau beberapa zat penghambat pembungaan dan inisiasi bunga akan terjadi bila produksi zat tersebut dicegah.

Penulis, Dosen Program Studi Agroteknologi Universitas Mahasaraswati Denpasar

BAGIKAN