Oleh Ketut Netra
Menjelang pemilihan presiden 2024, banyak diperbincangkan publik tentang hubungan kekuasaan dan hukum yang sedang berlaku saat ini. Masalah kekusaan dan hukum, bagi mahasiswa hukum, kedua pengertian ini telah diajarkanada semester pertama, dalam mata pelajaran PIH (Pengantar
Ilmu Hukum).
Secara umum, kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau golongan untuk mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan.Pengaruh ini timbul karena ada kewenangan, kekuatan atau kekayaan. Dalam kontek di Indonesia saat ini, yang paling relevan adalah kekuasaan yang timbul karena kewenangan yang di-
berikan oleh undang-undang.
Kalau kita lihat pada Undang Undang Dasar 1945, maka di sana disebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Dan
juga disebutkan kedaulatan ada di tangan rakyat, dan dilaksanakan sepenuhnya melalui konstitusi. Ini artinya bahwa hukum adalah sebagai panglima yang mengatur kekuasaan. Bukan sebaliknya kekuasaan yang mengatur hukum. Rakyat yang berdaulat menempatkan wakil-wakilnya melalui perwakilannya ikut bersama-sama penguasa lain untuk memajukan negara.
Badan kekuasaan lain yang ikut berperan misalnya badan konstitutif seperti MPR, eksekutif (pemerintah), legislatif (DPR) dan yudikatif (peradilan). Yang menjadi masalah adalah: Siapakah yang mengawasi DPR Ketika membuat
undang-undang agar supaya undang-undang tidak menjadi alat kekuasaan?
Seperti diketahui data tahun 2022 rencana undang-undang 30 % berasal dari eksekutif. Ada kemungkinan apa yang diinginkan oleh eksekutif menjadi kenyataan lewat undang-undang. Sebagai contoh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu pasal 299 (1) disebutkan presiden dan wakil presiden berhak melakukan kampanye.
Secara yuridis formil pasal tersebut benar, dan memang presiden berhak melakukan kampanye. Tetapi secara etika, tidak pantas seorang presiden yang mengayomi seluruh rakyat, menjadi condong ke salah satu partai. Memang benar presiden itu pejabat publik dan presiden itu adalah sebagai jabatan politik. Apalagi
presiden kalau sudah berafiliasi dengan salah satu partai politik, maka jelas presiden akan mendukung partai tersebut.
Dan juga kalau dihubungkan dengan azas pemilu yang LUBER dan JURDIL. Jujur dan adil akan terkesan terkontaminasi ke semua bawahan presiden akan terkena pengaruh oleh jabatan presiden.
Solusi yang ditempuh sebaiknya, presiden tidak menggunakan haknya untuk berkampanye. Karena hak itu bisa digunakan bisa tidak. Labih baik mengedepankan etika.
Daripada dicap oleh rakyat melanggar etika, walaupun tindakan itu benar di mata hukum. Kedua, yang sedang trending saat ini masalah nepotisme. Nepotisme adalah bagian dari KKN yang sejak 1998 telah berusaha “diperangi”. Kalau kita baca pasal 22 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi Kolusi Dan Nepotisme.
Adanya undang-undang ini merupakan perintah dari Tap. MPR Nomor: XI/MPR/1998. Baik Tap. MPR dan undang-undang tersebut sampai sekarang masih berlaku. Pada pasal 22 undang-undang tersebut antara lain berbunyi: Penyelenggara negara yang melakukan korupsi kolusi dan nepotisme diancam pidana penjara paling sedikit dua tahun dan seterusnya.
Kenyataan yang yang ada sekarang adalah banyak penyelenggara negara yang
termasuk pejabat elit melakukan tindakan nepotisme, tidak pernah ada proses hukum. Hal ini terjadi kemungkinan kasus nepotisme belum ada yang melaporkan, karena sebagai orang timur masih punya sifat ewuh pakewuh terhadap atasan yang notabena masih penya pengaruh besar.
Pengaruh yang besar itu dapat memandulkan ketentuan hukum yang nyata-nyata masih berlaku. Jalan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hal ini misalnya minimal yang mendapat SK oleh penyelenggara negara tersebut, SKnya dimohonkan pembatalan ke pengadilan. Dari kedua kasus tersebut
di atas dapat disimpulkan bahwa dalam hubungan kekuasaan dan hukum, belum
sepenuhnya hukum dapat sebagai panglima untuk mengatur kekuasaan.
Penulis, Pensiunan Jaksa