Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Sebenarnya ada tiga jenis rerainan Sugihan secara berurutan, dimulai Sugihan Pangenten, dilaksanakan pada Rabu/Budha Pon wuku Sungsang, tapi jarang dikenal, menyusul Sugihan Jawa pada Kamis/Wrespati Wage wuku Sungsang; dan dilanjutkan Sugihan Bali pada Jumat/Sukra Kliwon wuku Sungsang. Meski ada tiga Sugihan, kenyataannya tidak semua diperingati. Umumnya dengan latar belakang tertentu, umat Hindu hanya merayakan salah satunya.

Tentang ketiga Sugihan tersebut, masing-masing ada maknanya. Sugihan Pangenten, sesuai namanya mengandung arti sebagai pengingat (ngentenin) umat agar bersiap menyongsong hari suci Galungan — seminggu lagi. Sedangkan untuk Sugihan Jawa dan Sugihan Bali, setidaknya ada empat tafsiran.

Pertama, secara historis, merujuk lontar Purana Bali Dwipa, dikaitkan dengan adanya “pemasukan pajak hasil bumi dari luar pulau Bali yakni Makasar, Sumbawa, Sasak dan Blambangan, yang berada di bawah kekuasaan baginda raja di Bali, diupacarakan pada Wrespati Wage wuku Sungsang, sebagai hari Sugihan Jawa. Khusus bagi penduduk Bali asli, upacara dilaksanakan pada Sukra Kliwon wuku Sungsang yang disebut Sugihan Bali…”. Kedua, secara sosiologis, dihubungkan dengan umat yang melaksanakan Sugihan itu. Kalau Sugihan Jawa, dilaksanakan umat Hindu yang berasal atau merupakan keturunan dari wong Majapahit, sekarang menjadi bagian mayoritas dari krama Hindu di Bali. Untuk Sugihan Bali, diperingati umat Hindu keturunan wong Bali Mula atau Bali Aga yang sudah eksis sebelum kedatangan pengaruh Majapahit.

Baca juga:  Bali di Ambang “Overtourism”

Ketiga, secara filosofis, Sugihan Jawa dimaknai sebagai moment pembersihan di luar diri manusia yang tiada lain bhuwana agung (dunia beserta segala isinya). Pembersihan dalam arti, alam beserta sumber daya hayatinya harus bersih dari arogansi manusia yang hanya cerdik mengeksploitasi, tetapi tidak cerdas dalam merawat, menjaga dan kemudian melestarikannya. Pesannya adalah umat Hindu hendaknya tidak hanya berhenti pada tindakan simbolik melalui yadnya dalam bentuk ritual. Semestinya makna simboliknya ditransformasi lagi ke dalam bentuk aksi behavioral mengarah pada enviromnmental — berperilaku bijak mengelola lingkungan alam agar tetap ajeg lestari.

Baca juga:  Pencabutan Perda Jalur Hijau Dibahas, DPRD Buleleng Minta Pemkab Jamin Tak Ada Alihfungsi

Keempat, ada tambahan tafsiran secara etimologis bernuansa etnis/geografis, berkaitan kelaziman orang Bali di masa lalu lumrah menyebutkan seseorang yang pergi keluar daerah (Bhs Bali: ke Jaba) dengan sebutan “luas” ke Jawa. Padahal bisa saja ia pergi ke luar Jawa, misalnya Kalimantan,  Maluku, Sulawesi, Papua, dll. Kebalikan istilah “Jawa/Jaba” adalah “Bali” (kedalam : wali/mewali), kembali pada diri sendiri. Perubahan kata “Jawa” menjadi “Jaba” ini mengikuti hukum “warga” dalam tata bahasa Bali, yang memungkinkan suatu kata yang mengandung  unsur huruf “b-p-m-w’ bisa saling merubah atau dipertukarkan satu sama lain. Contoh, kata ‘wajra’ menjadi bajra’, pangan-mangan,  bangun-wangun, puput-muput, bawa-wawa, puja-muja, dll.

Terkait ritual suci Sugihan Jawa-Bali, sejatinya adalah mengajak umat Hindu, dan manusia pada umumnya untuk setiap saat “ke jaba” (keluar) diri, menyaksikan dan mencermati fenomena alam  (bhuwana agung) yang faktanya kini kian krisis, sehingga tergerak hati melakukan bermacam aksi untuk menanggulanginya agar tidak semakin kritis. Sehingga, pada moment Sugihan Bali, umat Hindu diharapkan mendapat inspirasi untuk “mewali” (kembali) masuk ke dalam diri, melakukan kontemplasi guna membangkitkan kesadaran kosmis bahwa “semua yang ada adalah Tuhan” (sarwam khalu idam Brahman). Manusia sebagai makhluk ‘sempurna’ dengan kelengkapan bayu-sabda-idep menjadi penentu mau dibawa kemana “nasib” bumi ini.

Baca juga:  Menjaring Wisatawan Lewat Promosi Cagar Budaya

Untuk itu diperlukan aksi nyata mewujudkan tatanan alam agar tetap berada dalam keseimbangan demi keberlanjutan kehidupan segenap makhluk. Caranya tiada lain seperti disuratkan kitab Bhagawadgita, III.14 : “Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yadnya, dan adanya yadnya karena karma”. Artinya, kesemua bentuk  yadnya, termasuk melalui ketiga Sugihan di atas, tidak boleh berhenti pada tingkatan ritual simbolik (haturan bebanten). Tetapi penting dibuktikan tanggung jawab moral dalam konteks ekologi dengan mengkreasi “karma” dalam berbagai bentuk perbuatan yang mengarah pada tindakan kongkrit guna mengharmoniskan alam.

Penulis, Dosen Fak. Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *