DENPASAR, BALIPOST.com – Setiap Buda Kliwon Dungulan atau 210 hari (6 bulan kalender Bali) umat Hindu se-dharma merayakan hari suci Galungan. Pada tanggal 28 Februari 2024 ini, umat Hindu akan kembali merayakan hari kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan) ini. Lalu, bagaimana umat Hindu, khususnya di Bali memaknai perayaan hari raya Suci Galungan di zaman globalisasi ini?
Akademisi Gede Arum Gunawan, S.Ag., M.Ag., mengatakan Hari raya suci galungan dapat dimaknai secara teologis, sosial budaya, maupun ekologisnya. Dijelaskan, dari sudut teologis, berdasarkan Lontar Sundarigama disebutkan bahwa hari raya suci galungan adalah munculnya fikiran-fikiran yang suci dan baik, serta lenyapnya segala kegundahan dan kegalauan pikiran.
Sehingga, secara teologis galungan ini adalah upaya untuk menumbuhkan pikiran baik, menumbuhkan semangat dan motivasi hidup yang baik, serta melenyapkan pikiran yang tidak baik dan keraguan atau kerisauan yang berlebihan.
Apabila pikiran kita tidak baik, tentu aktivitas lanjutan setelah berfikir itu, baik perkataan maupun perbuatan juga akan terganggu. “Jadi secara teologis kita jadikan galungan ini sebagai upaya untuk memunculkan semangat motivasi yang baik. Sehingga dimaknai secara luas sebagai kemenganan dharma melawan adharma,” ujar Gede Arum dalam Dialog Merah Putih Bali Era Baru “Memaknai Perayaan Suci Galungan di Zaman Global,” di Warung Coffee 63 A Denpasar, Rabu (21/2).
Secara sosial budaya, dijelaskan bahwa galungan adalah puncak dari segala aktivitas sosial kebudayaan yang bernafaskan ajaran Agama Hindu. Upacara-upacara besar dan upakara-upakara banyak dilakukan dan dihaturkan pada perayaan hari suci Galungan ini.
Termasuk tradisi-tradisi masyarakat di berbagai daerah banyak muncul dalam rangkaiannya. Termasuk sampai hari raya suci Kuningan.
Sehingga, aktivitas sosial budayanya sangat besar. Bahkan, hari raya suci galungan sebagai penguat dan pemajuan kebudayaan serta membangun solidaritas dan soliditas masyarakat kita.
Seperti contoh, yang merantau di kota pulang kampung, sehingga ada interaksi antar keluarga, dan ada tradisi ngejot. Contoh ini menjadi salah satu upaya umat Hindu dalam menguatkan kembali sosial budaya di tengah masyarakat Bali.
Sementara itu, secara ekologis bahwa perayaan hari suci galungan mengajarkan umat Hindu untuk berupacara secara berdikari. Artinya, segala sarana prasarana upacara itu harusnya disiapkan sendiri.
Maka, sebelum Galungan ada Tumpek Wariga yang bermakna agar umat Hindu berkebun dan bercocok tanam sendiri. Sehingga, segala bahan-bahan upakara bisa diambil di kebun sendiri, tidak bergantung dengan orang lain.
Hal ini telah diajar oleh leluhur kita. “Namun yang terjadi sekarang kita cenderung membeli semua sarana upakara tersebut. Maka, semua harga naik ketika galungan adalah konsekuensi dari itu semua. Sejatinya secara ekologis galungan sebenarnya mengajarkan kita untuk menyiapkan diri sedari awal menjaga lingkungan untuk mendukung aktivitas hari raya suci Galungan,” tandasnya.
Hal senada dikatakan Akademisi Unhi Denpasar, Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. Diungkapkan, secara historis yang mengacu pada Lontar Purana Bali Dwipa dengan jelas menyiratkan bahwa perayaan hari raya suci galungan mulai dilaksanakan tahun 882 masehi atau tahun 804 Saka.
Meskipun dalam perjalannya sempat tidak dijalankan karena sesuatu hal pada zaman kerajaan. Dikatakan bahwa, secara teologis hari raya suci galungan adalah moment bagi umat hindu menghaturkan suksmaning manah parama suksma kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sehingga, galungan disebut juga odalan gumi atau otonan jagat.
Apalagi, secara filosofis hari raya suci galungan berkaitan dengan kemenangan dharma melawan adharma. Sehingga, secara psikologis umat pada saat itu mengekspresikan emosi keagamaan. Yaitu, mengungkapkan rasa bhakti umat yang ditunjukkan dengan segala bentuk persembahan dari apa yang menjadi hasil jerih payah selama sepanjang hidup 210 hari belakangan ini.
Sementara, kaitannya dengan sosiologis, lebih kepada munculnya paiketan persaudaraan. Karena pada moment ini semua saudara maupun semeton kumpul di merajan, kawitan dan sebagainya. “Persoalannya di zaman global sekarang secara ekologis hanya 2 persen yang dilakukan umat Hindu di Bali yang mengarah ke lingkungan. Sehingga, sangat jauh untuk memenuhi kebutuhan material upakara atas kemandirian umat Hindu,” ujar Ketut Widana.
Lebih jauh dikatakan, dalam Lontar Sundarigama sudah tersurat dan tersirat dengan tegas bahwa hari raya suci Galungan adalah hakikat dimana umat harus memusatkan dan mengkonsentrasikan pikiran untuk mencapai kesadaran dan pencerahan yang digunakan untuk menghilangkan segala macam kekacuan/kekotoran pikiran (idep). Sebab, segala sesuatu bersumber dari pikiran. (Ketut Winatha/balipost)