Paruman Walaka PHDI Provinsi Bali, I Ketut Wartayasa, S.Ag.,M.Ag. (BP/kmb)

DENPASAR, BALIPOST.com – Ada yang unik pada perayaan hari raya suci Kuningan yang jatuh pada Sabtu (9/3) ini. Pasalnya, dua hari setelah hari raya Suci Kuningan, umat Hindu merayakan hari raya suci Nyepi Tahun Baru Çaka 1946.

Sehingga, rangkaian hari raya Nyepi yakni makiis/malasti dilaksanakan pada penampahan Kuningan dan ada juga yang melaksanakan pada hari raya Kuningan. Pada Umanis Kuningan dilaksanakan upacara Tawur Agung Kasanga. Lalu, bagaimana umut Hindu memaknai hari raya suci Kuningan dan Nyepi yang berhimpitan ini?

Paruman Walaka PHDI Provinsi Bali, I Ketut Wartayasa, S.Ag.,M.Ag., mengatakan bahwa tidak ada perbedaan makna hari raya suci Kuningan yang berhimpitan dengan perayaan Nyepi. Sebab, berbicara masalah Agama Hindu tidak bisa dilepaskan dari tattwa, etika, dan yadnya.

Dikatakan, bahwa makna dari hari raya suci Kuningan sejatinya beriringan dengan perayaan hari raya Galungan, yakni perayaan kemenangan Dharma melawan Adharma. Hanya saja, upacara yang dilakukan tidak sebesar pada saat perayaan hari raya suci Galungan. Namun, karena hari raya suci Kuningan kali ini berhimpitan dengan rangkaian hari raya Nyepi, maka umat Hindu agak lebih disibukkan dengan persiapan upacaranya. Kendati demikian, hal ini mesti dijalankan sewajarnya karena akan diberi jalan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk kelestarian alam. Asalkan yadnya yang dijalankan dilakukan dengan tulus dan ikhlas.

Baca juga:  Agar Tak Rugikan Warga Lokal, Aturan Pembatasan Pendakian ke Gunung Harus Jelas

Lebih jauh dikatakan, bahwa Dewa yang disembah pada saat Rahina Suci Kuningan adalah Ida Sang Hyang Parama Wisesa yang diiringi para leluhur atau pitara. Rahina Kuningan ini juga berkaitan dengan Rahina Tumpek, karena bertepatan dengan Saniscara Kliwon Wuku Kuningan.

Wartayasa mengungkapkan bahwa perayaan hari raya suci Kuningan dilakukan sebelum pukul 12.00 WIYA. Sebab, pitara yang mengiringi Sang Hyang Parama Wisesa sudah kembali ke yoga-nya.

Diungkapkan, bahwa hari raya suci Kuningan disimbolkan dengan jejahitan. Sarana jeahitan yang paling khas Kuningan adalah Tamiang, Sampian Gantung, Ter, dan Endongan. Dijelaskan, Tamiang yang bentuknya bulat seperti perisai, dimaknai sebagai simbol perlindungan atau pertahanan diri dalam menghadapi dan mengarungi perputaran cakra roda kehidupan yang amat keras ini. Bentuknya yang bulat dipahami juga sebagai kambang Dewata Nawa Sanga yang merupakan penguasa 9 arah mata angin.

Baca juga:  Dua Pembobol Counter di Melaya Dibekuk

Sementara itu, jejahitan berupa sampian gantung merupakan lambang penolak segala rintangan yang merintangi kehidupan untuk mencapai kemakmuran. Di dalam sampian gantung terdapat nasi kuning yang bermakna sebagai lambang kemakmuran. Ter adalah simbol manah/pikiran dimana manusia hendaknya memfokuskan pikirannya hanya satu tujuan, yakni demi mencapai kemakmuran bukan yang lain.

Sedangkan endongan/kompek sebagai lambang wadah kemakmuran yang telah dicapai sebagai bekal yadnya untuk dipersembahkan lagi kepada Hyang para Dewata, Leluhur/Bhatara-Bhatari. Endongan juga sebagai tabungan investasi kekayaan bagi para sentana keturunan yang masih hidup dalam mengarungi kehidupan untuk menggapai cita-cita pengetahuan/jnana yang setinggi-tinggi yang bermental “endong” dan bermental pemenang.

“Apabila diamati sarana dan makna yang terkadung dalam sarana upacara saat Hari Suci Kuningan lebih identik dengan alat-alat atau senjata dalam perang,” ujar akademisi Hukum Adat dari STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja dalam Dialog Merah Putih Bali Era Baru “Memaknai Hari Suci Kuningan dan Nyepi”, di Warung Bali Coffee Jl. Veteran 63 A Denpasar, Rabu (6/3).

Baca juga:  Gondongan Mulai Mewabah di Kalangan Anak-anak, Simak Gejala dan Cara Mengatasinya

Sementara itu, Penyuluh Agama Hindu Kota Denpasar yang juga Ketua Pandu Nusa Provinsi Bali, Putu Widya Candra Prawartana, M.Pd., mengatakan bahwa hari raya suci Kuningan yang berhimpitan dengan hari raya suci Nyepi tidak sekadar dirayakan, melainkan harus dimaknai sebagai hari suci. Sehingga, harus dimaknai sebagai wujud kedewasaan diri umat Hindu. Apalagi, hari suci ini datang setiap 6 bulan dan setahun sekali. Untuk itu, pihaknya berharap umat Hindu mampu memaknai hari suci yang ada di Bali berdasarkan tattwa, susila/etika, dan yadnya.

Hari Suci Kuningan kali ini berhimpitan dengan hari raya suci Nyepi. Sehingga, pengendalian diri sangat penting dilakukan oleh umat Hindu dalam melaksanakan upacara. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN