Oleh Marjono
Kasus perundungan meruak lagi di Serpong Tangerang, Gowa dan Makassar Sulawesi Selatan. Kejadian menguras air mata sebelumnya menimpa FAA, siswa SDN di Bekasi, Jawa Barat korban perundungan rekan sekolahnya yang hingga salah satu kakinya diamputasi dan akhirnya meninggal akhir tahun lalu.
Praktik bengal tersebut menjadi fenomena gunung es yang menjadi PR kita bersama. Maka kemudian, mari kita tengok makna senioritas dalam kamus KBBI merupakan seseorang yang memiliki tingkatan lebih tinggi dalam pengalaman, pangkat, serta usia.
Di dalam kehidupan manusia, senioritas merupakan sesuatu hal yang wajar. Hal itu di karenakan dalam setiap kehidupan manusia ada berbagai tingkatan-tingkatan. Senioritas dalam arti yang sebenarnya tidak membawa unsur kekerasan di dalamnya.
Praktik kekerasan apapun alasannya tak dibenarkan. Dalam KBBI IV (2008), kekerasan punya arti perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.
Dari definisi itu, jelaslah bahwa kekerasan merupakan perbuatan yang merugikan orang lain. Kerugian itu berupa rusaknya barang orang lain, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Kasus kekerasan di atas bukanlah komoditas baru, karena kasus yang merenggut nyawa anak-anak muda di kampus, pondok pesantren, sekolah umum maupun kedinasan pernah menyergap, terus bertemu dan berulang, seperti peristiwa di kampus STIP, STPDN, SMA Taruna Nusantara, beberapa waktu silam, dll. Setiap aksi kekerasan senior ke junior acap memicu reaksi banyak pihak.
Pemicu utama aksi kekerasan di atas lebih pada motif kasta, tradisi senioritas. Kala tradisi tersebut masih terpelihara, bukan tak mungkin akan membuat perlakuan dan penerimaan sosial setiap institusi mereka pun juga berlainan. Budaya akademik mestinya menghapus sekat-sekat atau kelas-kelas sosial baru di di dalamnya.
Budaya gila hormat dan balas dendam antara kakak-adik turut menyokong kekerasan di dalamnya. Sang adik wajib hormat kepada kakak dan wajib patuh apapun perintahnya. Jika menolak dan membangkang, maka kekerasan pun bersiap menghujam sekujur.
Pemantik kekerasan lainnya, yaitu kurusnya rasa kebhinnekaan di dalam dan di luar lembaga. Masih bercokol sebutan-sebutan berfrasa daerah, wilayah bahkan desa maupun kampung. Hal ini sedikitnya menyorongkan benih-benih primordialisme dan jika tak dikelola dengan baik, maka bom waktu yang bernama kekerasan setiap waktu bakal meledak. Beberapa kampus kedinasan maupun non kedinasan bahkan yang disorot elit, tapi keelitan itu belum sepenuhnya menjelma ke dalam karakter bahkan praktik harian baik di dalam dan luar tembok kampus.
Hal-hal lain yang cukup memengaruhi terbitnya paktik kekerasan, seperti absennya budaya mendaraskan damai di setiap dada pada anak-anak kita. Jika perlu kita belajar ke sekolah Sekolah Adipangastuti. Sekolah di Solo Raya ini merupakan sekolah yang menjunjung tinggi nilai-nilai Hasthalaku dalam kegiatan program sekolah. Hasthalaku adalah delapan nilai budaya Jawa yang meliputi gotong royong, guyub rukun, grapyak, semanak (ramah), lembah manah (rendah hati), ewuh pakewuh (saling menghormati), pangerten (saling menghargai), andhap ashor (berbudi luhur), dan tepa selira (tenggang rasa). Ini adalah kesempatan untuk membangun karakter anak-anak yang sejak dini harus terbiasa berbeda. Kalau hasthalaku ini diterapkan maka tidak akan ada lagi yang ‘gelut-gelutan’.
Beberapa poin di atas bisa mendidihkan emosional dan membuat gelap mata seseorang. Kekerasan yang melibatkan unsur bahasa disebut kekerasan verbal. Jenis kekerasan ini, beroleh tempatnya lewat praktik-praktik di keluarga, kawan sebaya, tempat hiburan dan ruang publik lainnya bahkan dalam dunia pendidikan. Ibarat kata, kekerasan itu akar yang terus dan selalu menjalar. Jika akar itu tidak diputus, kekerasan akan terus-menerus terjadi. Layak kita kita ketengahkan di sini adalah keteladanan dari para orangtua, guru, dosen, pendamping, dan seluruh civitas akademika saling merawat perilaku dan bahasa yang merekatkan persaudaraan bukan permusuhan. Ingat dan mengingatkan ke jalan kebajikan penting diterapkan di mana pun.
Premanisme
Menjadi ironi dan kontraproduktif bagi institusi level pendidikan apapun. Sayang, karena praktek kekerasan di senior-junior yang berakhir kematian kawan-kawannya sendiri, tentu saja menyisakan pilu yang mendalam bagi keluarga, korps dan dunia pendidikan. Lembaga pendidikan di manapun, semestinya selalu meringkus budaya kekerasan, tapi acap lalai, kecolongan bahkan lelap dengan kasus-kasus kekerasan yang menyelinap, dan jika berlangsung relatif lama, ia akan membatu, membuat aktor kekerasan yang berkeras kepala dengan premanisme di dalamnya. Menghentikan dan mencegah agar virus kekerasan tak berkembang, butuh konsisten dan komitmen seluruh pemangku kepentingan.
Melalui pemahaman komprehensif karakter berbagai anak menjadi keharusan bagi guru, pamong atau pendamping bahkan para instruktur, karena perhatian terhadap individu akan memberikan respect yang berdampak besar terhadap prestasi dan perilaku harian anggotanya. Dalam satu wadah, dipastikan dijumpai beragam karakter dan itu justru mengkayakan para pengelola dan pendamping untuk berkreasi dan berinovasi nggulowentah karakter mereka menjadi kekuatan pelangi yang luar biasa bagi pembentukan role model praktik pendidikan. Diakui atau tak diakui, kasus kekerasan senior-junior juga disokong atas peran lingkungan, yakni lingkungan sekolah, keluarga, serta masyarakat. Maka kemudian kita penting memastikan lingkungan akan memberikan kontrol sosial bagi perilaku anak-anak, remaja dan kaum muda lainnya. Hal ini sesuai dengan teori kontrol sosial Hirschi (dalam Adler & Adler, 2003), yaitu kontrol sosial dapat terwujud jika terdapat domain attachement.
Penulis, Kepala UPPD/Samsat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah