Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra. (BP/Istimewa)

Oleh IB Rai Dharmawijaya Mantra

Hingga akhir Tahun 2023 Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Bali membukukan total aset yang dikelola sebesar Rp24,31 triliun. Jumlah tersebut mengungguli saudara sejenisnya yang duluan lahir, yaitu Koperasi dan Bank Perkreditan Rakyat. Dinas Koperasi dan UMKM Bali mencatat total aset seluruh Koperasi hingga 31 Desember 2023 hanya Rp17,96 triliun.

Itupun termasuk aset dari Koperasi Serba Usaha atau di luar Koperasi Simpan Pinjam yang sejenis dengan LPD. Sementara total aset Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang dicatat oleh Perbarindo Bali pada periode yang sama terpublikasikan sebesar Rp20,68 triliun.

Perbedaan angka yang signifikan itu, memberi signal kepada kita untuk lebih mencermati: modal apa yang dimiliki oleh LPD untuk bisa unggul bersaing dengan saudara sejenisnya, yang justru umurnya lebih tua? Kalau dilihat dari sudut pandang manajemen lembaga keuangan konvensional, seperti rasio-rasio keuangan yang sehat: apakah itu likuiditas, kemampulabaan dan kualitas aktiva produktif, rasanya antara LPD, Usaha Simpan Pinjam Koperasi dan BPR sama saja. Tidak ada yang terlalu istimewa pada LPD. Tapi kalau dilihat dari sudut pandang ilmu manajemen secara lebih mendalam, ternyata LPD memiliki aset tak berwujud berupa budaya kolektif yang menjadi modal baginya untuk bisa unggul bersaing.

Baca juga:  Sembako, IKN dan Pemilu 2024

Hasil-hasil penelitian terkini yang terpublikasikan pada jurnal internasional, banyak yang menemukan bahwa kekayaan atau aset sebuah lembaga keuangan, tidak saja yang berwujud seperti yang nampak, atau dapat ditampilkan dalam laporan keuangan. Tetapi juga banyak dalam bentuk aset tak berwujud seperti kualitas sumber daya manusia, modal sosial, modal struktural dan modal budaya seperti modal budaya kolektif yang dimiliki oleh LPD. Masyarakat Adat di Bali mau nyimpan dananya di LPD, apakah dalam bentuk tabungan ataupun deposito, bukan karena mendapat bunga yang lebih tinggi, atau merasa dananya lebih aman, atau pengurus LPD diyakini lebih profesional. Tapi karena mereka adalah warga Desa Adat setempat yang sangat kental budaya kolektifnya.

Kesediaan masyarakat yang membutuhkan dana meminjam di LPD, bukan karena memperoleh suku bunga yang lebih ringan. Apalagi jika dibandingkan dengan suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang sangat masif hingga ke pedesaan. Bukan pula karena persyaratan kreditnya lebih ringan, atau jumlah kreditnya bisa lebih banyak. Tapi karena mereka merasa sebagai warga Desa Adat yang punya kewajiban untuk ikut membesarkan LPD.

Baca juga:  Tinggi Bangunan dan Otonomi Daerah

Mereka akan bangga dan merasa memperoleh benefit bila keuntungan LPD nya besar, walaupun membayar suku bunga kredit yang sedikit lebih mahal jika dibandingkan dengan suku bunga bank umum.

Semua masyarakat paham, bahwa sejak berlakunya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 1988 tentang LPD, hingga kini pembagian laba LPD ditetapkan 20 persen untuk dana pembangunan desa dan 5 persen untuk dana sosial yang dikelola oleh Desa Adat. Dasar pemikiran dari pembagian laba tersebut, dilandasi oleh tujuan pendirian LPD yang diungkap oleh Prof IB Mantra (1984) sebagai Lembaga Keuangan yang berfungsi untuk membantu Desa Adat dalam menjaga fungsi kulturalnya. Dasar dan pola pikir seperti ini yang dipahami oleh masyarakat, sehingga mereka memiliki fanatisme untuk membesarkan LPD. Bagi LPD, semua itu merupakan aset yang oleh Hofstede (1997) disebut sebagai budaya kolektif yang dapat memberikan manfaat ekonomi.

Baca juga:  Ruang Ritual Sakral Pantai Bali

Lalu, apa yang harus dilakukan oleh pengurus, pengawas dan karyawan LPD untuk merawat keberlanjutan intangible asset tersebut. Salah satu hal penting yang harus diingatkan kepada pengelola LPD adalah menjaga sistem tata kelola LPD yang baik, yang keren disebut dengan Good Corporate Governance (GCG). Unsur-unsurnya terdiri dari Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi dan Fairnes yang disingkat dengan istilah TARIF.

Prinsip-prinsip GCG sesungguhnya ada dalam sastra agama Hindu, yaitu dalam Sarasamuccaya 267, yang intinya mengajarkan kepada umat manusia untuk tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya. Agar kita tidak kehilangan kearifan dan kemuliaan karena kelobaan kita.

Penulis, Alumni Program Doktor Ilmu Manajemen FEB Unud, Ketua Ikatan Alumni Unud dan Calon Anggota DPD RI Terpilih

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *