Djoko Subinarto. (BP/Istimewa)

Oleh Djoko Subinarto

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok umat manusia di manapun. Kecukupan pangan harus selalu kita upayakan. Kita, misalnya, boleh saja bangga dan puas karena mampu memiliki berbagai produk teknologi mutakhir.

Tapi, tanpa sama sekali ada pasokan pangan, mungkinkah kita bisa terus survive? Untuk dapat bertahan hidup, kita membutuhkan makanan. Oleh karena itu, ketersediaan bahan pangan menjadi sebuah keniscayaan.

Pertanian merupakan sektor vital bagi pemenuhan kebutuhan pangan kita. Repotnya, pertanian selama ini senantiasa menjadi aktivitas yang didorong dan dibatasi oleh ruang. Ketika budaya bertani pertama kali muncul sekitar 12.000 tahun lampau, umat manusia harus membuka hutan untuk dijadikan lahan-lahan pertanian.

Proses destruktif seperti ini masih terus berlanjut hingga hari ini. Semakin tinggi populasi di suatu daerah, semakin tinggi kebutuhan akan bahan pangan. Itu berarti semakin banyak ruang dibutuhkan untuk aktivitas pertanian. Problemnya yaitu ruang di sekitar kita semakin terbatas. Kita tidak bisa terus-menerus membabat hutan, misalnya, untuk lahan pertanian. Di sisi lain, sebagian lahan pertanian yang telah ada tak jarang harus kitabkonversi untuk kepentingan-kepentingan yang lain.

Padahal, kita tetap membutuhkan pangan. Lalu, bagaimana solusinya? Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan akan ada tambahan dua miliar lebih orang di planet Bumi ini pada tahun 2050 sehingga produksi pangan global perlu ditingkatkan sebesar 70 persen agar mampubmencukupi kebutuhan pangan penduduk Bumi.

Baca juga:  Perlukah Pariwisata Halal di Bali?

Untuk mengatasi kebutuhan pangan yang terus meningkat, sejak puluhan tahun lalu, kita telah dikenalkan dengan metode yang disebut pertanian vertikal (vertical farming), khususnya untuk wilayah-wilayah di kawasan perkotaan, di mana ketersediaan ruang semakin terbatas.

Meski demikian, pertanian vertikal dinilai oleh sementara kalangan masih belum cukup untuk dapat mengatasi problem ketersediaan pangan kawasan perkotaan di masa depan. Oleh sebab itu, kita membutuhkan metode lain. Maka, underground farming atau pertanian bawah tanah pun akhirnya diapungkan.

Seperti namanya, pertanian bawah tanah adalah aktivitas bercocok tanam bahan pangan di ruang bawah tanah. Umumnya, pertanian bawah tanah ini memanfaatkan teknologi yang di Barat disebut sebagai controlled environment agriculture, yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan bawah tanah yang stabil di mana tanaman pangan ditanam dengan cara yang konstan, dapat diprediksi, dan berkelanjutan.

Di Asia, Korea Selatanm enjadi salah satu negara yang mulai menjajagis istem pertanian bawah tanah. Sejak September 2019, sebagian areal bawah tanah Stasiun Sangdo disulap menjadi kawasan pertanian yang dinamai Metro Farm.

Baca juga:  Pemerintah Diminta Lakukan Kesiapan Pangan Hadapi La Nina

Di balik fasad berpanel kaca, pucuk-pucuk daun dan kecambah bermunculan dari bawah lampu LED (light emitting diode) yang terang sebagai bagian dari proyek pertanian bawah tanah dan organik. Konsep pertanian bawah tanah Metro Farm di Korea Selatan ini menggunakan baki tanam hidroponik dan jaringan teknologi otomatis untuk mengontrol suhu, kelembaban,
dan tingkat CO2 ekosistem bawah tanah.

Hasil pertanian Metro Farm sejauh ini sangat produktif, mampu menghasilkan sekitar 30 kilogram sayuran per hari dengan kecepatan 40 kali lebih efisien daripada pertanian tradisional di permukaan tanah. Para pakar meyakini aktivitas pertanian bawah tanah kebal dari dampak perubahan musim dan cuaca.

Berdasarkan sejumlah penelitian, ketika tanaman berada di bawah kedalaman tertentu, cuaca maupun kondisi lingkungan permukaan tidak berpengaruh pada lingkungan tumbuh tanaman. Oleh sebab itu, pertanian bawah tanah diyakini pula memungkinkan dikembangkan dalam skala besar dan produktif di lingkungan yang tidak bersahabat seperti gurun, tundra, dan bahkan daerah pegunungan yang ekstrem.

Baca juga:  HPS, Pengingat Pentingnya Keberlanjutan di Tengah Ancaman Krisis Pangan

Di sisi lain, dengan memindahkan aktivitas pertanian ke bawah tanah, maka akan semakin sedikit ruang di permukaan bumi yang dibutuhkan untuk lahan-lahan pertanian sehingga memungkinkan terjadinya restorasi permukaan Bumi.

Salah satunya adalah aspek modal. Pertanian bawah tanah menggunakan teknologi yang cukup kompleks dan baru yang padat modal. Ongkos untuk membangun dan mengoperasikannya masih relatif mahal jika dibandingkan dengan pertanian konvensional sehingga membatasi jenis-jenis tanaman yang ditanam dan layak secara ekonomi.

Tantangan lainnya yaitu soal kondisi bawah tanah, khususnya yang terkait dengan ketinggian air tanah, yang akan sangat menentukan di mana kita dapat melakukan aktivitas pertanian atau tidak. Aspek lainnya yang menjadi tantangan yaitu sumber energi.

Mengganti sinar matahari bukanlah pekerjaan yang mudah. Problemnya adalah bahwa pertanian bawah tanah membutuhkan lebih banyak energi dibandingkan dengan pertanian konvensional. Terlepas dari aspek-aspek tersebut, sistem pertanian bawah tanah perlu
menjadi bahan pertimbangan sebagai bagian dari ikhtiar kita dalam mencukupi pangan kita.

Bumi beserta penghuninya terus mengalami perubahan.
Kita perlu melakukan sejumlah perubahan besar dalam memproduksi pangan kita sehingga pasokannya tetap terjaga dan berkelanjutan.

Penulis, Kolumnis dan Bloger

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *