DENPASAR, BALIPOST.com – Belakangan ini penyimpangan pakem dan tata pementasan tari joged bumbung yang berpotensi memenuhi kualifikasi pornografi (jaruh) dan porno-aksi kembali marak terjadi. Baik dalam pertunjukan langsung maupun diunggah di media sosial. Padahal, kesenian joged bumbung ini telah ditetapkan menjadi warisan budaya dunia tak benda oleh UNESCO pada tahun 2015. Sehingga wajib untuk dilestarikan, dilindungi, dan dimuliakan agar tidak merusak citra budaya Bali yang adiluhung.
Sampai saat ini payung hukum untuk menindak tegas oknum penari joged bumbung jaruh belum ada. Saat ini hanya ada sebatas imbauan berupa Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan Gubernur Bali periode 2018-2023, Wayan Koster. SE bernomor 6669 Tahun 2021 tersebut sebagai upaya melindungi dan melestarikan kesenian joged bumbung sesuai dengan pakem tari Bali, nilai-nilai adat, tradisi, seni budaya, dan kearifan lokal Bali.
Budayawan, Prof. Dr. I Wayan Dibia, mengungkapkan bahwa tari joged bumbung diperkirakan lahir di tahun 1940-an di Bali utara sebagai tontonan rakyat. Sehingga, tarian ini sangat melekat dan akrab dikehidupan masyarakat. Namun, dalam perkembangannya perlahan-lahan berubah menjadi tontonan “jaruh”. Bahkan, sejak itu joged bumbung mengutamakan aksi-aksi seksual vulgar di atas pentas sudah tersebar luas di media sosial. Menurut Prof. Dibia, tari joged bumbung yang mengutamakan aksi-aksi seksual tentunya telah melanggar tiga landasan kesenian Bali, yakni satyam (kebenaran), siwam (kesucian), dan sundaram (keindahan).
Seharusnya, sumber gerak dalam tari Bali perlu dipegang yang disebut Tri Angga, yaitu bagian kepala (utama), bagian badan (madya), dan bagian kaki (nista). “Dan yang sekarang banyak disalahgunakan itu adalah bagian nistanya, bagian pinggang ke bawah itu. Itu yang dulu tidak pernah ada gerakan seksual seperti itu, goyangan pinggul yang maju mundur,” tandas Prof. Dibia dalam Dialog Merah Putih Bali Era Baru “Joged Tak Senonoh Kembali viral, Perlukah Ada Payung Hukum? di Warung Coffee 63 A Denpasar, Rabu (27/3).
Dikatakan, upaya-upaya pembinaan dan penyelamatan tari Joged Bumbung agar tidak terus berkembang ke arah porno telah dilakukan sejak 2010 oleh Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Kebudayaan bekerja sama dengan Listibiya Bali, MUDP dan juga didukung oleh pihak kepolisian. Seperti, sosialisasi dan penyuluhan kepada para penari Joged Bumbung. Tujuannya agar kembali ke rel sebagai sebuah tari pergaulan. Apalagi, Joged Bumbung telah mendapatkan pengakuan dari UNESCO.
Sedikitnya ada tiga upaya untuk penyelamatan tari Joged Bumbung. Pertama, pemerintah daerah dapat memperluas ruang tampil bagi tari joged bumbung klasik (joged yang sesuai pakem). Sebab, selama ini ruang tampil tari joged bumbung klasik masih relatif terbatas. Kedua, menciptakan tari joged bumbung inovasi dengan wajah dan teknik penampilan baru. Misalnya, tari joged bumbung dengan 6-10 orang penari dan dengan pola koreografi yang apik dan menarik. Ketiga, mengadakan festival-festival joged bumbung secara berkala, mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten, bahkan hingga provinsi. Sehingga, masyarakat memiliki lebih banyak kesempatan untuk menyaksikan tarian sesuai pakem.
Akademisi Unhi Denpasar, Dr. Drs. Gusti Ketut Widana, M.Si., mengatakan berbagai upaya telah dilakukan oleh Dinas Kebudayaan Bali agar jogeg bumbung jaruh tidak kembali terjadi. Hanya saja hal itu tetap terjadi. Untuk itu, perlu tindakan tegas dari pihak terkait agar tari joged bumbung jaruh ini tidak semakin liar. Sudah saatnya fenomena kian maraknya joged porno ini diredam bila mungkin dipadamkan geliat liarnya. Sebab pakem seninya tidak lagi meluhurkan nilai etis, estetis dan artistisnya tetapi justru menghancurkan spirit filosofis berkesenian sebagai upaya membangun kepribadian luhur bangsa dengan menjunjung tinggi harkat, derajat dan martabat manusia, khususnya krama Bali (umat Hindu) yang sejatinya sangat sosialistis religius.
Pihaknya pun mempertanyakan kapan kejadian ini ditindak. Mengingat persoalan ini terkesan terjadi pembiaran sehingga boleh jadi dianggap sebagai pembenaran. Dikatakan, sejatinya joged bumbung itu sendiri merupakan karya cipta seni bernilai estetis yang dikonstruksi berdasarkan tatanan etis dan tuntunan filosofis. Tak heran badan dunia UNESCO pun menetapkannya sebagai warisan budaya tak benda sejak tahun 2015. Sehingga wajib dilestarikan, dilindungi dan dimuliakan agar tidak merusak citra budaya Bali yang adiluhur dan adiluhung.
Persoalannya, ketika joged bumbung sudah ditransformasi menjadi joged bumbung jaruh kesalahannya bukan pada joged bumbungnya melainkan terhadap para pelaku dan pihak yang mengorganisir/mempublisir ke publik sebagai penjual jasa hiburan. Baik dipertontonkan secara nyata (live show) maupun lewat dunia maya (medsos), seperti youtube hingga menjadi viral meski menjegal norma etika/susila, kesopanan/kesantunan, adat ketimuran, moral dan tentunya hukum. Kepada mereka itulah sebenarnya bisa ditindak secara pidana oleh aparat penegak hukum.
Sebab merujuk Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, pada bab I (pasal 1) dijelaskan, bahwa yang termasuk pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pasal 2 jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
Lalu pada pasal 10 dinyatakan, setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Terhadap pelanggaran UU Pornografi ini, pada bab VII pasal 36 dapat dikenakan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000. Karena menurut pasal 39 dinyatakan tindak pidana tersebut diatas adalah sebuah kejahatan, dalam hal ini kejahatan moral. Sangat jelas dan tegas bahwa joged bumbung jaruh yang semakin menjadi-jadi tersebut dapat dijerat UU Pornografi.
“Tinggal sekarang beranikah pihak berwajib sebagai penegak hukum menjerat aksi vulgar bin liar joged bumbung jaruh yang tergolong kejahatan moral itu? Apalagi tidak termasuk delik aduan, yang harus menunggu laporan masyarakat atau pihak yang dirugikan,” ujarnya.
Lagi pula, lanjutnya relatif mudah ditemui fakta hukumnya lantaran pertunjukan joged bumbung jaruh ini terkesan sudah menjadi candu bagi sebagian masayarakat Bali. Seperti halnya judi tajen yang juga tetap marak. Mirisnya lagi, tak jarang joged bumbung jaruh ditanggap untuk pentas saat serangkaian ritual suci yadnya berlangsung. Semisal, nelubulanin, ngotonin, pawiwahan, atau ketika parayaan ulang tahun dan momen kemenangan/keberhasilan.
Kehadiran Joged bumbung bergenre “SPBU” (Sensual-Porno-Birahi-Upah) ini, tidak lebih sebagai seni pertunjukkan beraroma sensual bertendensi seksual lewat aksi pornografi secara seronok plus jorok, dengan hasrat memancing birahi (jaruh/buang) penonton dan pastinya dilakukan demi meraup upah (uang/bayaran). Tak keliru jika dikatakan, Joged “SPBU” ini tidak hanya memalukan tetapi juga memilukan sekaligus memuakkan.
Lantaran telah melabrak seperangkat nilai (kesusilaan, kesopanan, kesantunan), keadaban, termasuk norma adat, hukum dan agama yang sangat menjunjung tinggi perilaku baik/benar (asuci laksana), berlandaskan ajaran Tri Kaya Parisudha. (Ketut Winata/balipost)